32. Tak ada yang sempurna

7.9K 1.6K 114
                                    

Yang paling sulit dalam mencinta, yakni tetap setia meski berulang kali mendapatkan luka.

Tepat pukul 3 pagi, tak sengaja Kiki mendengar suara cukup kencang dari tetangga depan rumahnya ketika dia sedang bangun untuk melaksanakan sholat tahajudnya. Perlahan dia berjalan ke arah jendela kamarnya yang berada di lantai 2. Bentuk bangunan perumahan yang hampir serupa satu sama lain, membuat kamar tidur Kiki tepat sekali menghadap ke bagian garasi tetangga depan rumahnya.

Pencahayaan yang samar-samar dari lampu taman, membuat Kiki tidak yakin siapa yang menutup pintu mobil begitu kencang di pagi buta seperti sekarang ini.

Beberapa saat terus Kiki perhatikan, sampai sebuah tangan mengusap bagian bahunya. Dia tersentak kaget, lalu melihat siapa gerangan yang mengusap bahunya.

"Lihat apa kamu?" tanya Wahid yang terlihat sekali baru bangun tidur.

"Nggak. Itu tadi ada suara pintu mobil ketutupan kencang banget." terang Kiki.

Wahid menyibakkan tirai kamarnya. Ikut memperhatikan keadaan di sekitar rumahnya.

Dari penglihatannya, dia melihat sosok Karim membawa satu tas besar yang laki-laki itu langsung masukkan ke dalam mobil. Tampilannya begitu kusut. Bahkan ketika mobil tersebut Karim kendarai, laki-laki itu sampai lupa untuk menutup pintu rumah bagian depannya.

"Apa ada yang sakit ya?" tanya Wahid berbisik.

"Bukan Lila kan yang sakit?" terlihat kecemasan dari mimik wajah Kiki yang berdiri di samping Wahid. "Soalnya tadi kan dia ribut sama Nada."

"Ribut sama Nada?"

Agak sedikit bersalah, Kiki kembali membungkam. Tidak seharusnya dia membicarakan hal-hal negatif seperti ini kepada Wahid. Karena menurutnya, semakin banyak orang yang tahu, maka akan memperburuk keadaan.

"Nada ribut kenapa?" tanya Wahid kembali.

"Iya, tadi siang dia ribut sama Lila." ungkap Kiki pelan. Kedua manik matanya melirik ekspresi Wahid yang semakin penasaran. "Udahlah, Sayang. Kamu nggak usah ikut campur, aku percaya mas Agam... "

"Bukan begitu, Ki. Kamu nggak akan paham. Ini bukan masalah aku ikut campur atau tidak. Tapi kalau sampai Nada ribut dengan orang lain, aku nggak ngerti harus bicara apalagi. Dia memang benar-benar udah keterlaluan menurutku. Seharusnya Agam bisa lebih tegas sama dia. Jangan karena cinta, semua kelakuan nakal Nada mudah dimaafkan begitu saja."

"Sayang..., udahlah. Jangan emosi. Kamu nggak bisa masuk ke dalam rumah tangga orang lain. Karena aku tahu percis, kamu sendiri nggak mau kan kalau rumah tanggamu direcoki sama orang lain? Aku yakin mas Agam bisa meyakinkan Nada untuk nggak melakukan hal-hal begitu. Lagi pula entah kenapa aku merasa mungkin semua ini terjadi karena kesalahanku juga. Kamu inget kan waktu Lila datang ke rumah, dan di rumah kita ada Nada? Dari sana aku udah merasa ada yang aneh sama sikap Nada. Dulu dia nggak begitu kok. Walau memang kadang kalau dia bicara agak tidak terkontrol. Tapi aku tahu sekali seperti apa sikap sahabatku itu."

"Kamu belain dia terus. Bukannya dulu kamu pernah juga dikomentari sama dia tentang penampilanmu yang terbuka?"

Kiki menganggukkan kepala. "Tapi berkat dia aku jadi sadar. Kadang manusia harus diberikan luka lebih dulu agar dia mengingat jalan terbaik seperti apa yang harus dia ambil. Karena hal tersebut terjadi sama aku, sejak saat itu aku merasa beruntung memiliki sahabat seperti Nada." ungkap Kiki dengan manik mata berkaca-kaca.

"Ya, aku paham sama perasaanmu. Mungkin karena hal itu juga Agam bisa bertahan dengannya." balas Wahid sambil menarik Kiki ke dalam pelukannya. "Yang kupahami dari semua ini, Ki. Menjadi yang terbaik tidak mengartikan bila orang itu sempurna. Seperti halnya Agam dan Nada. Bagi Nada, Agam adalah segalanya. Laki-laki terbaik, suami yang siaga, cinta dari Agam yang tak pernah berkurang untuknya. Tapi apakah Agam laki-laki yang sempurna? Jawabannya, tidak."

"Seperti halnya dirimu, sayang."

"Aku kenapa?"

"Belum bisa melupakan bukan berarti masih memiliki rasa. Iya kan?" goda Kiki pada suaminya. "Sesungguhnya aku sadar kok, setiap ada moment di mana kamu bertemu dengan dia, ada tatapan nostalgia yang kalian lakukan berdua. Meski begitu aku percaya, cintamu untukku nggak akan berkurang hanya karena hal itu. Semua orang punya masa lalu kan. Aku nggak bisa egois atas masa lalumu. Namun aku bisa berharap lebih untuk masa depan kita."

Tawa Wahid perlahan terdengar. Dia menganggukan kepalanya berulang kali, menyetujui apa yang dikatakan oleh Kiki. "Aku setuju dengan ucapanmu."

"Kalau setuju, ayo kita sholat dulu. Bantu doakan untuk para tetangga kita. Bila memang ada yang sakit, dapat diangkat kembali penyakitnya."

"Ayo...,"

***

Lila tidak menyangka Karim meninggalkannya setelah terjadi keributan antara mereka berdua. Awalnya Karim mempertanyakan peran seperti apa yang Lila maksudkan terhadap dirinya. Namun semakin Karim tanyakan, Lila semakin membungkam. Hingga pada akhirnya kalimat menyakitkan keluar dari bibir Lila. Dirinya seakan benar-benar sudah tidak mampu lagi menahan luka terdalam yang Karim ciptakan bersama Zella.

"Setiap cerita pasti memiliki akhir. Aku hanya minta satu hal, jangan bawa peran ini sampai mati. Karena mungkin saja akan ada cerita baru dengan peran baru lagi yang akan kita jalani. Tidak berdua. Mungkin dengan yang lainnya."

Dari kalimat itu Karim menyimpulkan jika Lila memang sudah tidak bisa bertahan lagi untuk hidup dengannya. Bahkan Karim belum sedikitpun menjelaskan kepada Lila tentang beberapa kejadian yang belum diketahui istrinya itu.

Tetapi tak ada manusia yang dapat memutar ulang waktu. Sampai batas kekuatannya Lila meminta Karim untuk menceraikannya.

Bukan hanya alasan Peran yang membuatnya ingin berpisah dengan Karim. Namun banyak hal yang mendasari atas keputusannya ini.

Mungkin dengan berpisah, Karim akan lebih bahagia. Dan masalah yang dia pikirkan akan semakin sedikit.

Akan tetapi baru setengah jam saja Karim pergi dari rumah pada pukul 3 pagi seperti sekarang ini, Lila sudah begitu gelisah. Dia khawatir terjadi hal buruk pada Karim yang masih emosi kepadanya namun sudah memilih mengendarai mobil.

"Harusnya kamu tahu, apa yang perempuan katakan sering kali bertolak belakang dengan hatinya. Harusnya kamu lebih paham akan hal tersebut. Karena anakmu juga seorang perempuan yang suatu saat harus kamu mengerti apa yang seharusnya kamu berikan agar dia bahagia." ungkap Lila sambil menangis di kamarnya. "Cukup aku aja yang kamu perdaya dengan mengucapkan kata peran di antara kita. Tolong jangan sakiti Aneska dengan kata itu. Karena aku tahu sakitnya tak akan bisa hilang, meski sebanyak apapun cinta yang kamu berikan untukku."

Dia tidak tahu akan seberat ini menjalani pernikahan dengan Karim. Padahal banyak tetangganya yang berkomentar jika kehidupan rumah tangganya terlihat begitu sempurna. Tetapi siapa yang bisa menyangka bila kesempurnaan hanya tampilannya saja.

Continue...
Aciee.. Mewek aing.. Hahhaa.. Seng sabar ya lila..

PERAN - 2 (PERFECT FAMILY)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang