Fitu

54K 5K 59
                                    

•••

Karena terlalu lama melihat ke atas, leher jadi pegal dan bahu tempat tote bag milikku tergantung terasa berat, aku pun sedikit menggerak-gerakkan leher.

"Tas kamu berat, saya letakkan di atas saja." Aku berjengit kaget, padahal tadi sudah lupa kalau di belakangku berdiri ada Pak Restu.

"Hem." Taruh? Enggak? Taruh? Enggak? Taruh aja deh, daripada bahu jadi miring sebelah kan gak kece. "Iya, saya sendiri aja, pak, yang taruh di atas." Pak Restu mundur memberi jarak untukku melepas tas dan meletakkanya di atas-tempat menaruh barang. Selesai aku menaruh tas, tangan Pak Restu megang tas milikku, baru mau protes eh ternyata beliau hanya ingin merapihkan posisinya. Oke. Renata, kamu gak boleh su'udzhon alias berburuk sangka sejulid apapun orang itu.

"Makasih, Pak Restu." Tetap, magic words harus diucapkan walaupun orang tersebut ngeselin segerbong KRL.

"Sama-sama, Renata." Pak Restu pun tersenyum di pantulan kaca besar KRL Commuter.

Sebenarnya aku heran kenapa Pak Restu senang banget nyebut nama aku lengkap, padahal orang lain jarang menyebutkan namaku selengkap itu, kadang hanya 'Rere', 'Rena', atau 'Nata'. Emang gak ribet apa nyebut sepanjang itu?

Setelahnya, petugas PPAK menginformasikan bahwa sesaat lagi KRL Commuter yang kami-aku dan Pak Restu naiki akan tiba di Stasiun Citayam, stasiun seribu umat. Tiap jam mungkin ada beratus-ratus orang yang turun di stasiun ini, banyak banget, bok yang turun.

"Aduh. Maaf, pak." Kepalaku terantuk dada tegap milik Pak Restu di belakang karena gak sengaja terdorong oleh kakek-kakek yang duduk di depanku, mungkin beliau hendak turun.

Kursi prioritas dihadapanku sudah kosong, hanya terisi ibu-ibu yang tertidur dipojokkan. Setelah celingak-celinguk memeriksa apakah tidak ada yang perlu di prioritaskan untuk duduk selain diriku sendiri, akhirnya dengan perasaan lega pantatku berteriak hore karena bisa duduk walaupun tinggal satu stasiun lagi.

Aku duduk, mencoba untuk memejamkan mata tapi gak enak karena di depan aku duduk ada Pak Restu yang ngeliatin. Kebiasaan banget ngeliatin orang matanya gak santai.

"Mau duduk juga, pak?" Daripada dilihatin Pak Restu dengan matanya yang tajam, setajam silet mending diajak ngobrol deh. Meski nyelekit sampai ke ulu hati.

"Boleh. Kamu dipangku saya atau saya dipangku kamu?" Aku mendengus. Tuh, tuh kan. Benar. Gak ada yang beres yang keluar dari mulut Pak Restu, kecuali kalau lagi di kelas atau sedang bimbingan dengan beliau.

"Bapak sini deh saya pangku, kalau gak malu." Gondok? Banget. Aku menjawab saja sekenanya.

"Saya yang malu atau kamu?"

Masih kuat, Re? Ngajakin ngobrol Pak Restu?

Dia ketawa pelan karena aku gak sanggup jawab lagi pertanyaannya yang terakhir. Ganteng-ganteng ngocol. Untung dosen sendiri jadi ikhlas. Akhirnya, aku memilih untuk memejamkan mata. Capek hati, capek mata, capek batin juga menghadapi Pak Restu. Aku masih mikirin ngapain dosen satu ini ngikutin aku sampai kereta, daritadi juga beliau gak turun di stasiun mana pun.

"Re, Renata." Gak lama aku memejamkan mata, terasa tepukan pelan di bahu sebelah kiri. "Sebentar lagi, Re. Kamu mau turun gak?" Aku bangun dan Pak Restu sudah menggantungkan tote bag milikku di bahunya. Aku mau ketawa ngakak akhirnya ditahan, daripada terkena adzab menertawakan pendidik? Untung tote bag milikku gak terlalu feminin, hanya tote bag kanvas polos berwarna kuning bertuliskan "YELLOW". Pak Restu pun mengikuti para penumpang KRL lainnya yang melipir ke arah pintu keluar. Berdiri menunggu pintu KRL terbuka.

Ckrek.
Untung gak terlalu nyaring suara kamera ponsel milikku. Iya dong. Momen kayak gini gak boleh terlewatkan, dosen membawa tas mahasiswanya dengan atribut sandal jepit. Pas banget, dapet pose Pak Restu melihat ke arah kamera.

"Kamu ngapain, Renata? Gak mau pulang?" Ngomongnya udah kayak ibu-ibu yang ngancem ke anaknya. Aku tadinya mau jawab, gak jadi. Karena gak jauh dari aku dan Pak Restu berdiri ada penampakan mbak-mbak yang melihat sinis ke arahku dan Pak Restu bergantian. Dia kira aku pelet si restu ibu kali ya, sampai mau satu gerbong gini.

Aku pun memilih untuk menjaga jarak dari Pak Restu dan setelah penampakan mbak-mbak sinis itu menghilang, aku kembali mengekori Pak Restu ingin meminta tas milikku kembali. Enak aja masa' mau dia bawa kabur, mentang-mentang tadi di kampus ditarik-tarik tasnya sama si restu ibu.

"Pak, tas saya." Aku menarik-narik tas milikku yang tersangkut di bahu Pak Restu. Omaygad. Dari belakang punggungnya si restu bundo peluk-able parah. Duh, jadi salah fokus.

"Saya kembalikan setelah saya sholat ashar, kamu sholat gak?" Aku menggeleng, karena emang lagi periodenya.

"Kamu jangan ke mana- ke mana. Urusan sama saya belum selesai." Pak Restu pun menyerahkan kepadaku barang tawanan alias tote bag punyaku.

Lima menit berlalu, pundak terasa ada yang nyolek-nyolek. Padahal kecakepan kalo disamain sama sabun colek.

"Renata." MasyaAllah! calon imam siapa sih ini, kebawa sampai mau pulang.

Si resturan selesai sholat seger bener dah yak. Rambut-rambut depannya masih basah gitu bekas air wudhu. "Pegang. Charge di sana." Pak Restu menyodorkan ponsel mahalnya beserta charger-nya. Dagunya mengarah ke stop kontak yang ada di tembok dekat musholla. Aku bengong, melihat ke tangannya Pak Restu yang memegang ponsel dan charger kemudian ke tampang watados, wajah tanpa dosa punya si restu ibu. "Saya mau ke Indomaret dulu." Lanjutnya.

"Ha ha ha ha." Aku tertawa garing ditinggal si resturan yang berjalan ke arah Indomaret bersama ponsel dan charger-nya.

Kocak. Berasa dibegoin.

•••
Muehehe.
Komen dong ah. Sepi bat lapak gue.

IMPOSSIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang