Keadaan krl commuter saat hari kerja, entah itu ke arah Bogor, Jakarta Kota, Angke, Jatinegara, atau Nambo selalu lebih lengang di siang hari. Lengang di sini maksudnya masih terdapat banyak ruas untuk bernafas dan bergerak dibanding pagi atau menjelang petang. Untuk perempuan pun kalau memilih di gerbong umum atau campuran kemungkinan mendapat tempat duduk lebih banyak, karena laki-laki pada jam-jam segini lebih memiliki hati untuk sekedar bertukar tempat duduk.
Earphone tersangkut, kepala menunduk memandangi ponsel. Pemandangan yang sudah lazim ada di krl commuter zaman now. Kemajuan zaman dan akses mudah pada teknologi membuat individu semakin egois, tetapi terkadang keegoisan tersebut seakan menjadi tameng dari kejahatan-kejahatan yang terjadi di zaman sekarang.
Dan melihat ada manusia yang memegang buku atau membacanya di transportasi dan tempat umum bagiku layaknya sebuah keajaiban, masih ada jugakah manusia yang di depan khalayak senang membaca buku tanpa segan? Meski sebenarnya manusia-manusia yang memegang ponsel bisa dikategorikan melakukan kegiatan literasi juga, atau bahkan yang ia baca dari ponsel bisa lebih bermanfaat daripada yang tidak memegang ponsel? Memandang sebelah mata kepada individu lain di tempat umum pun tidak baik. Seperti saat ini, ada ibu-ibu tua yang setia menggendong tas beratnya padahal di atas terdapat tempat untuk menaruh barang, karena katanya ia suka lupa jika tidak memegang barangnya sendiri.
Krl terus melaju, terkadang suara dari PPKA yang memberikan informasi terdengar dari speaker, aku masih ling-lung karena pesan dari Pak Restu menurutku pesan itu ambigu. Dan dari tadi aku cuma bisa berdiri di dalam gerbong krl memandangi ponsel.
Balas, tidak, balas, tidak? Kalau dibalas pun mau balas apa? Maunya si bapak sebenarnya juga apa?
Akhirnya aku tutup lagi aplikasi WhatsApp di ponsel, teuing lah si bapak mau mikirnya aku apa, yang penting sampai rumah dulu. Besok kalau di kampus kutanyakan pada Mia, dia pasti heboh gak karuan. Dan gak lama, muncul lagi getar dari ponsel, ini siapa sih nge-spam?
Pak Restu Dos
RenataKamu cuma baca aja pesan dari saya?
Renata
Iya, pak. Besok sebelum jum'atan, saya sekelompok sudah di kampus.
Apa lah, Pak Restu. Kok beliau jadi gak jelas begini, kayak abege. Bodo amat lah balasnya begitu, yang penting sudah dibalas kan?
Pukul setengah sebelas sebelum sholat jum'at sesuai perjanjian dengan Pak Restu, timku sudah ready di kursi lobi ruang dekan. Tadi pak satpam yang berjaga di lobi gedung A, tempat ruang dekan menyampaikan pesan dari Pak Restu, kalau konsultasi di kursi lobi saja. Karena di sini kami yang mahasiswa jadi iya-iya saja terserah dosen.
"Gimana slides powerpoint sudah jadi?" Tanya Pak Restu, Rama yang bertugas untuk bikin Powerpoint langsung menunjukkan hasil buatannya. Tapi, mata Pak Restu saat bertanya hal tersebut merujuk ke arah ku. Aku melirik ke arah Devi, meminta pertolongan. Gak kuat sama matanya si restu ibu. Dari tadi juga beliau begitu terus ngomong sama siapa ujungnya mata beliau berakhir ngelihat ke aku. Salah dan dosaku sebenarnya apa?
"Sudah bagus. Kalian sudah semester 4 juga, jadi memang harus seperti ini." Pak Restu mengangguk-angguk bangga. Iya dong, kelompok Renata. "Minggu depan kalian maju untuk presentasi kan?" Tambah Pak Restu.
"Iya, pak." Kami menjawab serempak.
"Sudah lengkap berarti kalian sudah siap. Semoga benar-benar tidak ada coret-coret di hari-h untuk kelompok kalian."
"Oke, pak. Terima kasih untuk waktunya." Rama berpamitan mewakili kami, karena dari tadi dia juga sudah gak tenang, sudah mepet sholat jum'at dan Rama cuma pakai kaos. Aku pun mengekor di belakang Rama dan Devi yang akan membuka pintu lobi.
"Renata, bisa bantu saya?" Pak Restu menyebut nama aku lagi. Aduh. Matek. Devi melirik aneh ke arah ku dan melirik heran ke arah Pak Restu. Aku mendorong-dorong Devi untuk menemaniku menghadap Pak Restu lagi. "Renata saja sendiri, Devi sudah bisa pamit." Dia ngusir alus Devi? Buset.
Akhirnya, Devi mendorongku ke arah si restu ibu, kemudian melambaikan tangan meninggalkanku. Tega. Aku misuh-misuh kesal. Mana si bapak ganteng banget hari ini, sudah siap pakai baju koko putih untuk sholat jum'at dengan lengan digulung sebagian. Kontras banget sama warna kulitnya yang coklat karena terbakar sinar matahari. Cowok gak perlu shirtless buat kelihatan ganteng, cukup tampilan kayak Pak Restu aja begini. Tapi ingat, hal kayak gini hanya berlaku untuk beberapa cowok aja loh.
"Ke, kenapa, pak?" Aku menghampiri Pak Restu yang sedang mengeluarkan ponselnya, kemudian memberikannya padaku, "ini kenapa pak, ponselnya?"
"Simpan nomor kamu di sana."
"Kan sudah ada nomor WA saya, pak."
"Nomor kartu SIM yang aktif yang bisa saya hubungi. Telfon via WA kualitasnya jelek." Tambahnya lagi. Kan konsultasi sudah selesai ngapain minta nomor telepon? Padahal aku lupa nomor sendiri berapa. Dicoba untuk mengingat-ingat kembali tapi gak berhasil juga.
"Lupa pak. Bener." Aku mengembalikan ponselnya Pak Restu. Oh gini rasanya megang iPhone X, biasa aja.
"Kamu jangan bohong sama saya."
"Enggak pak. Saya ga berani, masih takut dosa." Dia senyum. Najis. Makin ganteng, untung beliau belum ambil wudhu coba kalau sudah. Pasti ganteng maximall. L nya double.
"Siniin ponsel kamu." Dosen mah terserah ya nyuruh-nyuruh mahasiswa.
Aku mengeluarkan ponsel dari saku celana kulot milikku. "Ini pak. Gak di lock, tenang aja."
"Saya gak nanya." Suek. Dia yang minta, dia yang nyolot. "Target kamu lulus semester berapa?"
"InsyaAllah maunya saya mah semester 7 sudah selesai semua, pak. Selambat-lambatnya semester 8."
"Oh, bagus. Nekat juga kamu mau lulus di semester 7."
"Jangan ngejek dong, pak. Target segitu karena niat saya mulia." Kurang ajar emang dosen satu ini, untung ganteng.
"Ingin lulus cepat karena sudah ada yang melamar?"
"Hah?!" Shock. Padahal niat muliaku bukan alias belum siap untuk itu, masih ada targetan untuk mengabdi pada tanah air untuk mencerdaskan bangsa, yaitu bertemu dengan teman-teman kecilku yang ada di pedalaman tanah air tercinta, Indonesia.
Aku memandangi diri sendiri dari atas ke bawah kemudian melihat pantulan diri sendiri di pintu lobi yang terbuat dari kaca. Kok bisa si restu ibu mikirnya gitu, emang aku kelihatan kebelet kawin apa?, "Enggak, pak. Tapi kalo ada juga gak nolak. Gak nolak bersyarat." Iyalah, kalau pun ada tetap harus memenuhi kriteria.
"Bagus. Kalau begitu semoga syarat dari kamu ga susah-susah banget ya, Renata." Aku yang salah dengar atau aku yang bego dan gak peka? Pak Restu dengan entengnya ngomong kayak gitu, sambil mencoba me-missed call nomornya dari ponselku ke iPhone mahal miliknya.
"Nih, ponsel kamu. Saya sholat jum'at dulu. Sudah mau adzan. Diangkat kalau ada telfon dari saya." Pak Restu mengembalikan ponsel milikku dan menyimpan iPhone X miliknya di kantong celana, kemudian berlalu meninggalkanku di lobi ruang dekan yang masih dalam mode mencerna ucapannya yang tadi. Aku sinting. Fix.
•••

KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSSIBLE
Roman d'amourBuat mahasiswa, ketemu dosen yang baik, cakep dan gak pelit nilai itu anugerah. Gimana kalo kamu ketemu dosen yang baiknya dikit, gak pelit nilainya agak banyak dikit, tapi cakep bin julidnya banyak? Terus ditambah modusnya alus? Minat? ••• A story...