Dua Ẃulu A'Dua

43.1K 3.9K 137
                                    

•••

"Re, lo kenapa?" Mia mengguncangkan bahuku, karena selepas mematikan telepon dari Pak Restu aku bengong lagi, "lo yang diajak married Pak Restu?"

"Enggak, lah. Gila lo." jawabku. Mana ada Pak Restu ngajak married, doi aja gak jelas tadi ngomong apaan. 

Sadar, Renata sadar. Tadi cuma mimpi. Aku tersenyum meyakinkan diri sendiri, tapi kembali penasaran dengan memeriksa log kontak, terdapat nama 'Resturan' di baris teratas yang artinya tadi itu bukan mimpi. Mataku juga gak sengaja lihat Pak Restu dengan kemeja batik yang sama sedang berdiri di depan pintu ruangan akademik memegang ponselnya, melihat lurus ke arah aku dan Mia duduk.

"Mi, gue pulang ya."

"Dari tadi atuh." Mia mendorongku ke arah parkiran mobil, "gue anterin sampai stasiun."

Fix. Kalau aku gak buru-buru pulang, bisa ditahan lagi sama Pak Restu kayak yang sebelum-sebelumnya.

Di dalam mobil Mia, aku cuma bisa diam. Gak diam-diam cepirit kok. 

Sampai di stasiun, kami cipika-cipiki dulu kayak biasa disertai wejangan dari Mia yang berhasil membuat kupingku panas, "Lo jangan mau, kalau dia gak jelas kayak gitu. Lo juga belum terlalu kenal sama dia, Re. Walaupun gue fans beratnya, tetep aja gak ikhlas dia ngajak temen gue married tapi caranya kayak gitu." katanya. Aku cuma bisa ngangguk-ngangguk kayak mbah dukun sedang mencobati pasiennya. Kata siapa aku diajak married sama Pak Restu, cuma Mia doang yang asal menyimpulkan. Masih semester 4 mau ke 5, aku ga se-desperate itu kali menghadapi tugas-tugas, sampai minta dikawinin. 

Aku menaiki kereta di gerbong campuran, naiknya juga gak sadar. Berasa ngigo. Masih mikirin ucapan Pak Restu, ada ya orang ngajak maksa gitu?

Ada sih, Pak Restu. Dari awal ngajak aku juga dia maksa. Alasannya ada aja, dari yang jelas sampai gak jelas. Padahal kita kenal juga hanya sebatas dosen-mahasiswa, beliau berani banget ngajak-ngajak anak orang. Sok sok perhatian. Ah, aku lupa. Dia kan emang bakat play boy. Feeds Instagram-nya aja rata-rata foto sama perempuan semua. Yang diajak makan juga ganti-ganti pasti deh. Kayak aku, korbannya. Ah kampret, kena jebakan batman. Kena kutukan buaya darat deh sampai mikirin begini. Kok, sedih ya?

"Duduk." Seseorang menggoyangkan pelan tote bag milikku, ketemu sama mas-mas waktu itu lagi gak ya. Kan lumayan bikin segar mata pas lagi suntuk begini.

Wih jodoh, deh nih.
Setelah menempatkan bokong aduhay ini ke kursi, pas aku nengok ke depan. Mas-mas manis yang kemarin bantuin aku taruh tote bag ada di depan mata, rambutnya ikal gondrong nyaris menyentuh bahu, tapi gak bikin dia kelihatan kumal. Hidungnya mancung, tampangnya gak ngebosenin. Manis-manis gula jawa gitu. Pakai kaus hitam dengan logo Eiger serta jaket berbahan semi parasut dari brand Eiger juga, santai tapi tetap rapih dandanannya. Tergantung tas kamera,di bahu sebelah kiri miliknya serta waist bag Eiger melingkari badannya, tegap woe body-nya. Btw, wear one brand banget nih si Mas-mas. Doi mau hunting mungkin. Di saat lagi asyik merhatiin, orangnya nengok ke arahku. Aku tersenyum dan mengangguk sambil mengucapkan terima kasih.

Wo, o. Kamu ketahuan, lihatin saya. Pasti mas-nya mikir kayak gitu, ia seperti menahan tawa sambil mengalihkan wajahnya. Gak bakat banget dah, stay cool depan cogan. Tawanya manis banget, cute sih. Eh kayak pernah lihat di mana gitu. Di kereta? yaiyalah kan kemarin baru ketemu. Bukan kemarin aja kayaknya tuh muka berasa familiar di mana gitu.

Aku melihat ke arah sekeliling, yang tadinya sepi keadaan gerbong kereta semakin padat.

Ah, suek. Aku menundukkan kepala, lihat orang pakai batik jadi ingat Pak Restu yang tadi pakai batik juga. Kepikiran lagi deh, bete banget.

Aku mendengus pelan, berniat bersandar ke belakang kursi. Eh ternyata mas-mas manis tadi juga ketangkap basah lagi merhatiin aku, jelas banget dia ngelirik-lirik tapi pas ke-gap langsung buang muka ke arah lain. Malu-malu tahi kucing.

Wo, o. Kamu ketahuan balik, lagi lihatin aku.
Aku ketawa pelan. Ada-ada aja dah, ketahuan banget. Ia ketawa juga ternyata, tapi matanya melihat keluar jendela yang terletak di atas tempatku duduk. Mungkin malu, abis ketahuan.

"Eh bu. Duduk, bu." Aku refleks manggil ibu-ibu yang terlihat tua tapi belum cocok juga disebut lanjut usia, mungkin sekitar lima puluh tahunan, seusia ibu. Aku bangkit dari tempatku, memberikannya pada ibu-ibu tersebut dan berdiri di samping Mas-mas manis berkaus hitam.

"Awwww. Eh, eh." Aku terdorong-dorong saat kereta akan memasuki Stasiun Pondok Cina, sebenarnya salahku juga berdiri di depan kursi bagian ujung dekat pintu, karena ini adalah arus jalan penumpang yang akan turun. Celah yang ada, akan terus didorong agar mereka bisa keluar dan tidak tertinggal. Tidak peduli dengan penumpang yang lain, kalau kamu gak bisa minggir dan mengambil celah lain. Pilihannya hanya satu, membiarkan diri terbawa arus, lalu terdorong keluar gerbong kereta.

Aku udah gak kuat lagi, mungkin karena belum sarapan tadi pagi hanya minum segelas jus alpukat yang gak habis, ditambah perutku terasa melilit seperti sakitnya saat memasuki siklus bulanan.

Badanku terdorong, terbawa arus ketika kereta sudah berhenti di Stasiun Pondok Cina. Sampai ada tangan yang menolongku, menarikku untuk segera menyingkir, mendorong bahuku mendekati pinggir kursi dekat pintu, celah teraman agar tidak ikut terdorong dan membiarkanku bersandar di sana. Sedangkan ia yang tadi menarikku, berdiri menyerong dengan posisiku dikurung olehnya, saat wajahku menoleh ke samping kiri berhadapan dengan logo Eiger berwarna putih, mas-mas yang tadi. Batinku. Ia memasang badan di samping tempatku agar aku bisa berdiri dengan tenang dan nyaman, punggung bagian belakang si Mas ini seringkali terbentur dengan orang-orang yang berlalu-lalang untuk naik atau pun turun kereta.

Mataku nyaris tertutup, kalau Mas-mas itu gak mengguncangkan bahuku. Jujur aja, lutut sudah lemas banget karena perutku yang sakit. Gak kuat, sumpah. Aku sebenarnya udah nahan sakit perut sejak masuk stasiun, setelah aku cek ke toilet bukan karena ingin buang air. Jadi, fix ini mah sembilangeun. Pantesan, dari kemarin bawaannya tuh mood jelek banget.

Samar-samar aku dengar suara mas-mas berkaus hitam tadi berbisik, nyuruh aku buat merem, memejamkan mata dan pegangan sama dia. Ogah lah yee, kenal aja kagak. Mending pegangan tiang kursi KRL. Sakit perut kayak gini tuh, muncul-hilang-muncul. Malu-maluin banget deh.

"Kenapa mbaknya, Mas?" Ibu-ibu yang duduk kursi belakang tempatku bersandar melihat ke arahku lalu bertanya.

"Gak apa-apa, Bu. Biasa PMS." Sebelum aku ngejawab, Mas-mas berkaus hitam itu udah ngejawab duluan. Oh, ngerti toh. Malu banget, padahal dia kan orang asing. Aku mau menghilang aja, jadi buih kayak mermaid. Gak dimana-mana bikin malu doang.

"Aww." Aku meringis lagi di saat mau berpindah tempat, keluar dari kurungan badan tingginya si mas-mas berkaus hitam ini, perutku gak bisa diajak kompromi. Tanganku refleks meremas jaket miliknya yang langsung aku lepas dengan cepat.

"Mbaknya suruh duduk aja, mas." Ibu-ibu tadi yang bertanya menawarkan tempat duduk.

"Gak usah, Bu. Ini mau turun kok."

Lah, diserobot lagi jawabnya. Kan aku mau duduk, woy! Belum mau turun, masih jauh turunnya. Aku melongo sambil megangin perut, ngelihat si Mas-mas santai-santai aja mukanya pas jawab.

•••

Eyke update spesial buat Dinda, temen seper-fan club dosen hawt kami di kampus. Tiba2 nge-WA nyuruh apdet.
Ahahaha

Gue tau din, lo kangen Pak ....

Happy reading!!
Laaff yu ol💜🙆

IMPOSSIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang