Fele Ӧnӧ

47.2K 4.8K 114
                                    

•••

Terantuk pintu di saat kamu pingin kabur itu rasanya gak banget. Aku masih berjongkok di depan pintu dan membenamkan wajah di antara kedua lutut, kepalaku pusing banget. Benjol yang kemarin makin nyut-nyutan padahal tadi pagi sudah mendingan. Semoga gak berbekas deh. Nanti jadi gak cantik lagi.

"Renata, dahi kamu gak apa-apa?" tanya Pak Restu yang ikut berjongkok di hadapanku.

Mikir Renata, mikir! Gimana caranya buat stay cool sekarang. Harga diri kamu kemarin sudah gak laku kalau digadai, sekarang apa lagi. Di mana tempat beli harga diri yang baru, tolong kasih tahu ke aku, mau beli sekarang juga.

Pak Restu saat mendengar bunyi dahi VS pintu, langsung keluar dari toilet. Aku tahu dari mana? Kedengaranlah bunyi pintu toilet yang dibuka terburu-buru.

"Pak, jangan dekat-dekat saya. Jauh-jauh dulu. Saya malu, harga diri saya sudah rontok berceceran." usirku pada Pak Restu, gak mau deh lihat mukanya si Restu ibu sekarang, pasti dia lagi menahan tawa karena dari kemarin aku kejedot terus. Aku mengintip di sela-sela lututku, bukannya beringsut pergi Pak Restu malah berganti posisi menjadi duduk bersila di hadapanku.

"Oh bener berarti wujudnya yang ini." si Bimbim, teman Pak Restu masih saja mengompori padahal gara-gara dia, aku jadi seceroboh ini. Bikin malu aja.

"Issh." desisku, "kepala saya pusing. Saya mau pulang saja, pak." Dengan mempertahankan posisi, aku mencoba meraba-raba pintu, mencari knopnya. Rasanya mau keluar dari ruangan ini dengan cara berguling-guling sampai pintu lobi gedung A, malu banget dah.

"Coba angkat kepala kamu." pinta Pak Restu

"Gak ya, pak."

"Di kasih minyak tawon lagi, Renata. Biar benjolnya gak kayak kemarin. Gimana kamu gak pusing, terantuk dua kali." kata Pak Restu dengan hati-hati, tapi julidnya mah teteup.

"EH." Aku kaget dan refleks menarik tanganku tapi gak bisa, karena tiba-tiba tangan kiriku yang menganggur digenggam Pak Restu, sedangkan pelakunya sudah berdiri ingin menarikku agar berdiri juga.

"Kamu diri dulu, duduk di kursi." perintahnya galak.

"Prok, prok, prok."

Terdengar suara tepuk tangan dari teman Pak Restu, si Bimbim. Sebenarnya namanya siapa sih?!, "Gila. Gua gak nyangka, seorang Restu." dari nada bicaranya si Bimbim, ia sepertinya takjub dengan kelakuan temannya, sedangkan Pak Restu hanya berdecak kecil mendengarnya.

Aku yang merasa seperti diledek.

Pak Restu pasti mikirnya aku manja banget. Aku memutuskan untuk berdiri dan duduk di kursi dengan syarat wajahku tetap ditutup dengan tas laptop yang ku bawa.

Terdengar suara kursi yang sengaja di geser ke hadapanku.

"Nih, minyak tawon." kata si Bimbim, antara botol kaca dan meja kaca di sampingku yang teradu, terdengar suara decitan yang bikin ngilu.

"Thanks, Bimo." jawab Pak Restu.

"Makasih, pak." jawabku juga, sombong banget kalo gak makasih. Oh, benar ternyata namanya Bimo, "Pak, saya pulang saja. Ada CCTV di sini nanti dicurigai orang kampus saya lama-lama di sini."

"Kita gak ngapa-ngapain, Renata." jawab Pak Restu yang sedang mengambil air mineral gelasan dari kardus yang terletak di samping dispenser. Emang kita ngapain sih emang?!

"CCTV-nya lagi mati kok dari pagi, belum di-service. Teknisinya belum ke sini." ceplos Pak Bimo.

"Kan, tetap aja."

Pak Restu masih sibuk membuka tutup botol minyak tawon.

"Segelnya belum dibuka, pak. Gimana sih." Aku ngelihatnya gemas sendiri, segel belum dibuka main diputar aja.

"Ehm." deham Pak Restu. Oh gitu caranya stay cool orang ganteng. Ia menuangkan sedikit minyak tawon ke jarinya, ini mau mengoleskan ke dahiku lagi terus mencet lagi ke yang benjol kayak kemarin apa gimana deh.

Lihatin saja dulu, baru sleding.

Di saat tangannya mengangkat ke arah depan dahi, aku menahan tangannya.

"No. Pak, no no no." kataku.

"Pfftt." kami pun menoleh, ternyata Pak Bimo sedang menahan tawa, ia sedari tadi berdiri di samping meja, melipat tangannya di dada dan menonton interaksi kami.

"Diam lo, Bim." kata Pak Restu, ia menyimpan botol minyak tawon ke atas meja, "kamu pakai sendiri. Saya minta maaf, kemarin gak sengaja." lanjutnya.

"Iya, pak. Iya." Masa' orang ganteng gak dimaafin. Aku mengeluarkan kaca kecil dari tote bag milikku, lalu dengan hati-hati mengoleskan minyak tawon tadi ke dahiku yang benjol untuk kedua kalinya. Pusing, serius.

"Itu kenapa kamu kasih kasa? Kamu kasih betadine juga?" tanya Pak Restu melihat kasa yang ada di dahiku sengaja diberikan aksen merah-merah agar orang-orang yakin kalau itu memang luka, bukan karena terantuk. Aku hanya bisa menunjukkan cengiran lebar. Hehehe. Renata yang pintar.

Pak Restu mencoba membuka perlahan kasa yang menempel.

Gila sih ini mah.
Gak kuat dekat-dekat Pak Restu dalam jarak sedekat ini, tampangnya yang lagi fokus itu loh. Kalah deh, pesonanya kalau lagi ngajar di kelas. 10987654321 kali gantengnya.

"Pak, munduran dikit deh. Saya yang grogi." kataku pelan, jujur banget. Tapi, bener takut khilaf.

Sedangkan, Pak Restu yang sudah berhasil melepaskan kasa dari dahiku. Memundurkan wajahnya sambil tersenyum. Manis, sialan. Bisa diabetes deh nanti yang dipilih jadi pendamping seumur hidupnya Pak Restu. Ia melipat kasa tersebut dan membuangnya dengan cara di lempar ke tempat sampah dekat kursi kami duduk.

"Udah ya, pak. Saya pamit pulang aja." pintaku.

"Saya antar. Kamu yakin kalau sendiri gak akan terantuk ketiga kalinya?" jawab Pak Restu, "diam lo, Bim. Lo gak ada hak komentar dulu sekarang." lanjut Pak Restu saat melihat temannya yang sepertinya ingin meledeknya kembali.

"Saya keluar duluan, pak." pamitku. Gak rugi orang tuanya Pak Restu dalam bereproduksi, hasilnya tokcer plus plus. Sekarang udah susah banget rasanya mau nolak apa kata Pak Restu. Sebenarnya malas dengar doi sok mau nganterin, padahal gak sampai rumah juga antarnya.

"Ren, minyak tawonnya dibawa." teriak Pak Bimo dari dalam ruangan saat aku sudah menutup pintu dari luar. Sabar, sabar.

•••

Oh iya makasih banget yang udah mampir. Gak nyangka sih bakal masuk ranking segitu di fiksi atau dan lain2-nya. Hehehe. Bagusnya di mana juga masih bingung :)))
((halah, rank segitu aja bangga))

Gak apa2 yang gak vote tapi ngintip2 di sini. Seneng aja anak indonesia gemar membaca, walau bacaannya gak faedah kayak cerita eyke.

Tolong ingetin kalo ada typo, masih belajar merangkai kata.

Btw, banyak bat ini bacotnya.

IMPOSSIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang