•••
Setelah ibu membuka pagar dan menghampiri aku dan Pak Restu. Gak. Ibu cuma nyamperin Pak Restu doang. Sumpah. Ibu Heni ini sebenarnya ibu kandung aku, apa ibu kandungnya Pak Restu?
Ibu menggangdeng tangan Pak Restu setelah memanggilnya dengan sok akrab. Estu? Hellow!
"Ya ampun, nak Estu. Kok baru mampir lagi, padahal Rere-nya udah pulang dari Banten dari lama banget." tanya ibu sambil menggandeng tangan Pak Restu menuju ruang tamu rumah kami.
"Iya, tante. Maaf, baru sempat ke sini lagi. Kemarin lagi fokus juga sama Mamah." kata Pak Restu disertai senyum sopan miliknya pada ibu, "oh iya. Renata bawain ini bu, tadi mampir sama saya sebentar." Pak Restu meletakkan kantung plastik J.Co di atas meja ruang tamu.
"Aduh. Nak Estu makasih banyak. Ngerepotin."
"Enggak, bu. Ini favoritnya Renata, jadi saya gak merasa direpotkan." tambahnya.
Aku masih bengong di depan pintu utama, memperhatikan interaksi antara ibuku dengan Pak Restu. Apakah aku dan si Restu ibu sebenarnya putra dan putri yang tertukar?! Ibu sama sekali gak menggubris keberadaanku yang masih melongo depan pintu, sibuk ngobrol sama si Restu ibu. Serius deh, ini pasti salah aku karena udah kasih julukan ke Pak Dosen idola kampus ini dengan nama si Restu ibu. Oh God. Karena nama adalah doa. Hasilnya jadi kayak gini, Ibu jadi keasyikkan ngobrol sama Pak Restu.
"Rere. Ambilin minum atuh buat Nak Estu."
"Hah?" Telingaku masih geli-geli gimana gitu dengar ibu manggil Pak Restu dengan nama Estu.
"Sekalian bawa ini ke belakang pindahin ke piring." perintah ibu, beliau menunjuk pada plastik J.Co yang masih tergeletak manja di atas meja.
"Kenal di mana coba?!" ucapku pelan sambil melirik sinis dan penasaran ke arah Pak Restu. Sedangkan yang disinisin hanya tertawa, antara menanggapi omongan ibu atau sebenarnya meledek ucapanku.
Aku pun mengambil plastik J.Co tadi dan membawanya ke dapur. Lalu membuat tiga cangkir sirup dingin. Kenapa banyak banget hal yang gak aku tahu tentang Pak Restu? Sebenarnya dia siapa sih?!
Aku merogoh-rogoh kantung celana, mencari ponsel kesayanganku. Berniat untuk melapor pada Mia.
"Lah kok gak ada?" Aku panik sekarang. Fix.
Udah tahu aku pelupa banget kalau soal ponsel, sering banget buat lupa taruh di mana. Dan sekarang di atas meja makan sudah berhamburan isi dari tas milikku. Tapi tetap aja gak terlihat wujud dari si ponsel berwarna white-gold milikku. Mati. Mati. Tadi kayaknya di kantung celana deh. Dahiku udah basah, karena keringat yang mengucur, anak-anak rambut udah mencuat keluar juga, keluar dari jilbab di dahi. Data di ponsel itu banyak banget. Belum sempat aku upload ke dropbox.
"Bu, hape Rere ilang lagi." Aku menghampiri ibu dengan tergopoh-gopoh dari dapur. Ibu masih seru ngobrolnya sama Pak Restu.
"Minumnya mana?" tanya ibu.
"Ih ibu. Hape Rere ilang lagi." Aku berbisik pelan di telinga ibu Heni, mantan pacar ayahku yang sekarang jadi istrinya.
Ibu mengerenyitkan dahinya, memukul pelan tanganku, "kamu mah kebiasaan. Nanti dimarahi ayah biarin."
"Ih, Bu."
"Kenapa Renata?" tanya Pak Restu.
"Gak, Pak." jawabku singkat. Malas kasih tau ke Pak Restu, yang ada diledekin.
"Itu loh. Renata kebiasaan suka lupa sama barang sendiri." jelas ibu, ngadu. Pamer kalau anaknya suka lupa. Kalau sama tamu bukannya disembunyiin aibnya anak, lah ini malah diumbar.
KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSSIBLE
RomanceBuat mahasiswa, ketemu dosen yang baik, cakep dan gak pelit nilai itu anugerah. Gimana kalo kamu ketemu dosen yang baiknya dikit, gak pelit nilainya agak banyak dikit, tapi cakep bin julidnya banyak? Terus ditambah modusnya alus? Minat? ••• A story...