Ӧnӧ

56.3K 5.1K 136
                                    

Tolong sebelum kamu pergi cek kembali isi tas dan pastikan barang yang kamu ingin bawa masuk ke dalam tas yang tepat.

Emang bego banget, aku baru ingat e-money card milikku salah masuk tas dan tadi pagi aku berangkat pakai kartu THB, yang setelahnya aku tukar lagi supaya megang uang sepuluh ribuan. Karena di awal bulan, wajah Bung Karno selalu tersenyum sangat cerah di dompet dan sangat amat sayang untuk dipecah dan akan mengakibatkan senyum milikku juga hilang nantinya. Soalnya aku tipe yang akan boros jika uang yang nilainya besar sudah dipecah.

Dan kabar buruknya adalah si restu bundo masih ngikutin aku sampai peron satu ke arah Bogor. Gak tau deh beliau sebenarnya mau ke mana, aku ga berani nanya nanti di julid-in lagi sama beliau. Aku jalan pelan mau pindah, menjauh dari Pak Restu. Eh beliau ikut jalan. Sebenarnya ogah banget dekat-dekat beliau di tempat umum, selain karena gak enak dilihatin orang banyak, karena beliau kelewat ganteng. Orang-orang tuh lihatnya kayak aku, kaum jelata terus Pak Restu, kaum bangsawan. Gak pantes banget kayaknya di mata orang aku berdiri di samping si restu ibu. Hina banget kesannya. Bikin minder. Ditambah tinggi badan yang sangat mengintimidasi. Aku takut Pak Restu ketuker sama tiang di peron.

"Kamu diam aja kenapa?" Pak Restu tiba-tiba ngomong bikin kaget, padahal tadi diam-diam aja gak masalah.

"Enggak." Aku sibuk merhatiin orang-orang yang lalu lalang di peron seberang, siapa tahu ada orang yang aku kenal bisa dimintain tolong agar aku bisa menjauh dari Pak Restu. Males bok, meski ganteng jugak. Minder tingkat dewa.

"Saya belikan kamu Roti'O, tapi kamu ngobrol sama saya." Disogok pakai Roti'O di stasiun? Helaw? Beli Roti'O juga aku mampu kale.

"Gak. Emang saya masih kecil."

"Hem. Buat saya iya, tapi no problem kamu cukup dewasa dan kompeten." Dih. Ngomong apaan sih? Gak nyambung. Emang kita lagi interview kerja?

"Pak Restu sebenarnya mau ke mana sih?" Keluar juga akhirnya pertanyaan ini. Soalnya gondok banget sampai akar rambut.

"Saya mau cari udara segar dan pengalaman baru." Iyain. Mana ada udara segar di KRL? Yang ada bau badan, bau capek, bau ketek. Dia sudah prepare banget, masih pakai kemeja yang tadi tapi bawahnya sudah pakai sandal jepit.

"Terserah, pak." Aku coba melangkah sedikit ke samping, tapi Pak Restu masih batu buat ngikutin. "Jangan ngikutin saya dong, pak. Kalau mau cari udara segar. Masing-masing saja. Nanti udara di sekitar saya jadi gak segar lagi." Bohong sih sebenernya, wangi maskulinnya Pak Restu walaupun udah sore-sore gini tetap bikin segar, parfumnya pasti mahal. "Bapak gak takut dikira pelaku culik?"

"Memang tampang saya terlihat sejahat itu? Enggak kok. Petugas keamanan saja santai dari tadi gak mencurigai saya sedikit pun." Resturan masih membela diri. Bodo amat kali sama petugas keamanan, yang risih di sini kan aku.

Lima menit menunggu, akhirnya informasi krl ke arah Bogor memasuki stasiun Lenteng Agung terdengar. Karena ini masih siang menuju sore hari, kupastikan KRL Commuter di gerbong campuran tidak sepadat jam pulang kerja, dan aku pun memilih naik di gerbong tersebut.

Bego episode dua. Aku lupa ada Pak Restu yang setia ngikutin, bahkan sampai masuk gerbong KRL, karena ini gerbong campuran otomatis Pak Restu bebas ikut naik dong, coba kalau gerbong khusus wanita dia pasti gak boleh naik alias diusir sama petugas keamanan KRL. Meski pun penghuni gerbong khusus wanita pasti senang-senang saja karena yang menyelundup masuk bentukannya kayak Pak Restu. Dan begonya lagi, gerbong campuran yang aku naiki saat ini berada di tengah-tengah, otomatis jauh dari gerbong khusus wanita yang tempatnya ada di ujung awal dan akhir.

KRL Commuter yang kunaiki sampai di Stasiun Pondok Cina, banyak yang turun dan banyak juga yang naik. Buset. Ini mah sama aja kayak pulang jam 5 sore. Padat juga.

Kegencet dah, iya kegencet.
Aku pun mepet-mepet ke arah bangku prioritas, seenggaknya tempat teraman kalau lagi padat-padatnya buatku.

Makin ke sini makin padat. Aduh. Kedorong lagi.

"Maaf." Aku baru sadar ternyata Pak Restu sudah berdiri dibelakangku.

Sinting. Ini mah udah kayak adegan drama-drama korea posisinya. Aku didepannya berpegangan holding dan Pak Restu berpegangan besi tempat menaruh barang yang ada di atas. Mana AC sama kipas angin di kereta tambah gak berasa karena terlalu banyak manusia-manusia yang berebut oksigen dan mengeluarkan karbondioksida.
Aku melihat ke arah tangannya Pak Restu yang lengan kemejanya sudah digulung sebagian, pegangan kuat banget ke besi yang ada di atas karena kelihatan urat-urat tangannya yang sexy itu menonjol. Nahan banget kayaknya biar gak kedorong-dorong.

"Kamu setiap hari himpit-himpitan di gerbong campuran sama laki-laki asing seperti ini?" Pak Restu berbisik di samping telinga, walaupun aku pakai jilbab tapi deru nafasnya terasa sampai di cuping telinga.

"Enggak juga. Saya biasanya kalau pulang di gerbong khusus wanita." Apaan sih ini orang? Gak jelas banget.

"Berarti kamu sekarang sengaja ambil gerbong campuran supaya bisa himpit-himpitan dengan saya seperti ini?" Aku refleks noleh ke kanan, yang ketemu malah seringai jahil Pak Restu dan sisa kumis bekas beliau bercukur karena posisi kepala beliau yang menunduk.

"Apaan sih pak? Tadi saya kira di sini sepi, biar saya bisa kabur juga dari bapak yang ngikutin saya terus." Aku merengut kesal dan melihat ke arah jendela besar yang ada di depan tapi yang muncul adalah pantulan senyum jahil milik Pak Restu dari kaca tersebut.

Idih. Ganteng.

"Tau ah, Pak." Akhirnya aku memilih untuk melihat ke arah tumpukan tas yang ada di atas besi tempat menaruh barang daripada tambah kesal karena melihat wajahnya Pak Restu.

•••

Gue post spesial buat SitiMarwah331 ang eteb besok UAS.
WKWKWKWK

IMPOSSIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang