Dua Ẃulu

44.7K 4.1K 132
                                    

•••

Hari ini adalah H-1 terakhir ujian, yang artinya besok ujian kami selesai. Fisik dan jiwa sudah tidak tertolong. Kalau kata ibu, sudah seperti zombie. Lingkaran hitam dan kantung mata sudah mendominasi.

Sabar Renata sebentar lagi liburan, hiburku sendiri setelah menyadari betapa mengenaskannya hidup ini dilibas habis oleh tugas.

Sebenarnya untuk apa kamu kuliah? Kalau bukan untuk membeli tugas-tugas yang setumpuk, pengalaman, dan sebuah liburan? Seharusnya sebelum memutuskan untuk melanjutkan pendidikan, kamu harus sadar bahwa dalam sistem pendidikan yang seperti ini, tidak akan jauh-jauh dari yang namanya kesibukan semacam ini. Kuliah sama saja membuat dirimu tercebur dalam sebuah amanat dan tanggung jawab akan semua tugas, lulus kuliah dengan baik, dan beban sebagai seseorang yang berpendidikan tinggi.

Bersyukur adalah kuncinya. Bersyukur karena kamu masih diberi kesempatan untuk merasakan betapa dahsyatnya kuliah itu karena tidak semua seberuntung kamu.

Kemarin, ujianku di awas oleh Pak Restu. Ia gak terlalu rese saat mengawas, tapi matanya? Jangan ditanya. Di kelas saat mengajar saja seperti itu, death glare sexy-nya berhasil menelanjangi kita seruangan. Telinganya? Gak usah lihat juga, ia mampu mendeteksi pergerakan mencurigakan mahasiswanya dari bunyi-bunyian aneh. Mantap jiwa.

"Kuliah gak usah terlalu mengejar nilai bagus. Kejar ilmu yang bagus-bagus karena itu lebih bermanfaat." tutupnya setelah ia selesai mengawas ruangan kami, quotes-nya sudah kayak Bapak Mario Teguh belum? Kurang botak sama gemuknya aja kayaknya baru deh mirip. Sebelum keluar ia melirik ke arahku, dan tersenyum. Aku tahu, dibalik senyumnya yang bikin klepek-klepek itu pasti niatnya ingin meledekku karena kejadian ke-gap saat nge-stalk.

Sehari sebelum UAS terakhir ini, niatnya aku menemui Pak Restu. Mengembalikan kartu Flazz-nya. Tapi gimana ketemunya? Nge-WA aja gak berani woy.

Titip ke security ruang dekanat aja deh, pikirku.

Kartu Flazz Pak Restu sudah ku bungkus rapi di dalam map coklat, isi kartunya banyak nih. Di dalamnya kutambahkan notes kecil berisi ucapan terimakasih dan ngasih tau bahwa saldonya aman-aman saja seperti semula saat ia pinjamkan.

"Terimakasih ya, pak." ucapku diiringi senyum manis pada Pak Abdul, security yang berjaga di depan ruang dekanat. Saat hendak keluar dari lobby, Pak Restu keluar dari pintu utama ruangan dekanat. Berjalan dengan agak berlari as always, mungkin terburu-buru itu hobi baru atau hobi lama yang aku gak tau.

Eh, emang aku siapa sampai tau hobinya Pak Restu? Terus, kenapa beliau selalu panik gitu tampangnya kalau terima telepon?

"Neng, itu Pak Restu-nya." kata Pak Abdul yang juga melihat kepergian Pak Restu.

"Iya, pak. Saya titip aja, kayaknya beliau sedang terburu-buru. Permisi pak, terima kasih." pamitku lagi.

Setelah menitipkan ke security, aku berniat untuk langsung pulang. Gak ada deh kata nongkrong-nongkrong cantik untuk hari ini, besok ujian dari dosen terbaik di fakultas ini. Terbaik dalam membuat mahasiswanya pusing tujuh keliling. Mia saja langsung pamit untuk pulang duluan, katanya mau menjemput papinya di Soetta. Kemudian ingin tidur siang, berjaga-jaga untuk SKS, sistem kebut semalamnya.

Di stasiun, aku kembali mengecek WA. Masih berharap sih, Pak Restu nge-chat duluan gitu. Minta maaf karena gak negur di lobby, padahal jelas banget mata kita ketemu gitu. Dia lihat aku, aku lihat dia. Tapi nyatanya tidak, kawan. Ngarep banget lo, Renata!

Aku melihat ke arah utara. Kereta arah Bogor yang baru tiba, kenapa gerbong campurannya penuh banget sih? Aku lagi malas ribut-ribut di gerbong wanita.

Tunggu satu atau dua kereta lagi, jaraknya lumayan dekat untuk kereta yang akan datang setelahnya. Jadi kemungkinannya tidak seramai kereta ini.

Aku duduk di bangku oranye, bengong. Mikirin besok gimana ketemu Pak Restunya, harga diriku sudah rontok berceceran tidak tersisa karena dua kali kejedot, terus ditambah ketahuan nge-stalk Instagram Pak Restu. Gara-gara kemarin ke-gap, ya sudah aku pencet follow sekalian di IG-nya Pak Restu, setelahnya aku pencet like di seluruh video dan gambar di IG Pak Restu. Malu-maluin kok nanggung, sekalian aja, gas terus. Udah gak bakat dari sperma buat stay cool di depan cogan-cowok ganteng. Ada untungnya juga tadi hanya papasan dengan Pak Restu, gak ada adegan saling sapa. Yang ada pasti diledek sama Pak Restu.

Sebenarnya dari kemarin juga Pak Restu gak terlalu menyinggung lagi ajakannya padaku untuk menemaninya ke acara reuni. Dia sudah belok haluan kali ya, yang jadinya diajak perempuan yang suka ia temui dan ajak makan di Mall itu. Bikin bete aja, ingatnya.

"Satu utara kereta dengan tujuan akhir Stasiun Bogor akan tiba. Demi keselamatan diri Anda, harap berdiri di belakang garis kuning."

Suara dari announcer PT. Kereta Commuter Indonesia menggema di seluruh stasiun. Aku masih kesal ingat Pak Restu yang penuh drama-drama gak jelas, sok misterius. Sok sok waktu itu kode kangen padahal dia siapanya aku juga gak tau deh.

Aku malas berebut di gerbong wanita, karena masih kesal, lalu memilih naik di gerbong campuran, sudah agak lowong dan tidak sepadat tadi.

Kendala selanjutnya adalah susah banget nyimpan tas karena terbatas oleh tinggi badan yang minimalis. Karena memang tumpukannya di sana sudah tinggi banget, kalau gak ada tumpukan tas setinggi itu aku juga masih bisa meraihnya.

"Eh, makasih mas." Tasku diambil alih oleh mas-mas, abang-abang, akang-akang, gak tau lah apa nyebutnya. Masih muda kalau dibilang bapak-bapak juga. Umurnya pasti di atasku atau sekitar di bawah umur Pak Restu.

Ia meletakkan tasku di sana. Tapi karena tumpukannya agak miring dan tote bag milikku bahannya memang agak licin, ia menggelincir ke bawah lagi mengenai kepala si mas-mas yang membantuku tadi, lagi badannya tinggi banget, mas.

"Eh, eh. Maaf mas maaf."

Aku melihatnya kembali mencoba merapikan tas milikku. Bikin repot aja sih itu tas, "lempar aja mas. Gak apa-apa." usulku padanya.

Ia mengerenyit heran, kok tas dilempar? Mungkin pikirnya gitu.

"Iya. Dilempar aja. Gak terlalu pengaruh kok sama isinya." Aku masih kekeuh meyakinkannya supaya dilempar aja tasku biar gak merepotkan dia lagi. Kan sayang, tampang yang manis abis, cute abis kayak gitu dikerjain sama tote bag kampret milikku.

Akhirnya tasku dilempar juga olehnya, rewel banget si tas doang. Ganjen.

Setelah tasku dilempar olehnya, ia tersenyum manis ke arahku. Ku balas dengan senyuman juga sebagai ucapan terimakasih, karena sudah mengurangi beban pada lengan milikku. Lalu ia membalas lagi senyumanku, terlihat lesung pipi yang lumayan dalam di kedua pipinya.

Lah, ngapa jadi saling senyum gini. Aku tau kok, dia senyumnya manis banget, kalah deh gula jawa, gula semut, gula batu, gulali. Terus kalau dibanding sama senyumnya Pak Restu gak kalah juga kok, mas yang ini.

Idih ngapain jadi mikirin Pak Restu. Siapa dia?!

•••

Btw, ngapa chapter-nya jadi banyak yaa? Niatnya kan gak sebanyak ini-_-

Satu chap setelah ini, eyke mau revisi yang sebelum2nya yaa. Biar enak dibaca wkwkwk
Emang dasar masih amatiran hehehehe

Komen lagi dong, tapi komennya jangan cuma next, lanjut, gitu2 dong. Bikin sedih tauuukk :((

Anyway, makasih ya udah mampir dan sempetin baca, like, and comment
💜💜

IMPOSSIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang