•••
"Maaf, maaf nih pak. Bisa tolong ulangi, pak." kataku, kan bisa jadi telinga ini kotorannya lagi banyak.
"Keterampilan menyimak kamu kurang, Renata? Sepertinya kamu butuh kembali ke sekolah dasar." jawab Pak Restu yang sibuk membuka es mambo miliknya alias yang beli aku.
"Bapak ngajak saya? Gak salah?" tanyaku lagi memastikan kalau Pak Restu gak lagi ngigo karena kekenyangan. Ini reuni besar loh, tertulis yang hadir sampai tiga angkatan sebelumnya dan satu angkatan sesudahnya, undangannya juga resmi udah gitu bagus banget. Pasti isinya orang-orang tua, garing yang mau riya alias nyombong. Ya Tuhan, dosa. Negative thinking, gak boleh.
"Serius. Itu syaratnya." tegasnya lagi.
Aku terdiam, mikir. Senang sih, tapi 'wah gila seh ini mah' istilahnya begitu. Percaya diri banget Pak Restu bawa aku ke acara reunian, sekarang aku yang gak percaya diri. Dan banyak banget pikiran-pikiran negatif yang menghinggapi.
Kutempelkan kompresan kedua dari es mambo milikku di dahi, sedangkan kepalaku mengadah ke atas. Rileks, Renata, rileks. Aku menghirup udara dalam-dalam agar pikiran negatif yang menari-nari itu menghilang, udara tercemar ibu kota. Ha ha ha.
Disaat otakku gak sinkron sama hati, Pak Restu masih sibuk mengunyah es mambonya, dikunyah loh. Doyan apa masih laper, Pak?! Gak malu loh dia sama setelan kemeja dan celana bahannya, emang sih sudah gak rapi banget dan aku ulangi nih, tetep hawt abis. Ini kan pinggir jalan, bisa aja anak kampus atau teman sejawatnya ngelihat. Gak merasa berdosa banget, setelah memberikan syarat yang tidak masuk akal kepada mahasiswi yang berharap ditraktir makan gratis.
"Cie, cie. Lagi. Marahan ya om, teh."
"Cie, Cieeee."
"Pacarannya depan warung, makan es. Ciee."
Tiba-tiba terdengar suara cempreng diikuti gelak tawa yang lain mengusik khidmatnya berpikir. Ternyata bocah-bocah kecil, salah satunya sedang membawa bola plastik yang sengaja dibuat kempes, biar kalau ditendang gak sakit dan gak memantul terlalu lincah.
"Iya nih. Lihat aja, tetehnya asem banget tuh mukanya." sahut si Resturan menimpali. Yah, kampret. Disautin sama Pak Restu. Mana pacaran, dek!
"Gak atuh. Teteh mah gak asem, jangan didengar omnya, ya." Aku tersenyum manis ke arah anak-anak kecil yang menggoda kami, satu dari mereka yang memegang gelas air mineral kosong mendekat. Memperhatikan wajahku.
"Teh, ini kenapa benjol? Ditonjok om ini ya?" tanya anak kecil tadi kemudian melirik ke arah Pak Restu, diikuti dengan teman-temannya yang mendadak memasang wajah garang.
"Om gak boleh gitu dong." sahut si baju biru. Anak kecil saja mengerti, bahwa kekerasan pada perempuan adalah hal yang dilarang keras, apa lagi sampai ke tahap pelecehan.
"Iya, om. Jangan jahat sama tetehnya." lanjut temannya yang giginya hitam di bagian gigi seri. Mereka saling sahut menuduh Pak Restu yang menyebabkan dahiku benjol, tapi kok Pak Restu gak marah dipanggil om?!
"Enggak, enggak. Om gak jahat sama tetehnya." Pak Restu gak mau kalah difitnah seperti itu, membela diri dengan menyebut dirinya om. Gembira hatiku, dibela anak-anak kecil ini, memang kan dia yang membuat dahiku seperti ini? Tapi kasian Pak Restu yang semakin terpojok dan mulai menarik perhatian orang sekitar.
"Enggak kok. Teteh tadi kejedot. Makanya benjol segede bakpao gini. Omnya gak jahat kok." kataku membela Pak Restu diselingi tawa bahagia melihat Pak Restu difitnah. "Udah ya, omnya gak jahat. Baik kok banget malah. Mau es mambo gak? Teteh beliin nih." tawarku pada anak-anak kecil yang berjumlah delapan orang tersebut, supaya lupa buat mojokkin Pak Restu. Mereka bersorak kegirangan, sampai-sampai bola kempes yang ditenteng si baju merah ditinggalkan begitu saja mengekoriku ke arah warung untuk membelikan mereka es mambo.
Dari arah warung, terlihat si Resturan smengeluarkan ponselnya dan mengarahkan ke tempatku berdiri dikelilingi oleh anak-anak yang berebut meminta bagian es-nya. Senyum doi lebar banget, minta di timpuk toples kerupuk.
Aku kembali duduk di samping Pak Restu, membawa minyak tawon dari warung. Sedangkan anak-anak tadi sibuk memakan es mambo-nya, biarin deh anak orang flu. Satu orang dapat tiga es.
"Sini minyak tawonnya." kata Pak Restu setelah menyimpan ponselnya kembali.
"Emang bapak benjol juga? Mau minta minyak tawon?" Kayaknya si Restu ibu gak ada yang benjol juga deh, aku memperhatikan wajahnya. Gak ada, masih utuh gantengnya. Cuma rambutnya aja beda deh. "eh kaget." Gak sengaja, ternyata Pak Restu malah lihatin balik, bahaya-bahaya. Aku melihat ke arah tangannya yang mengadah meminta botol minyak tawon di tanganku.
"Kamu dari tadi buka gini aja gak bisa?" tudingnya dan mengambil alih botol tersebut, memang sih dari tadi botol minyak tawon-nya gak bisa dibuka, cuma bisa keputar-putar tapi gak kebuka juga. Keras tutupnya, biar tawonnya gak keluar kali ya jadi keras gitu.
"Lihat sini, Renata." Aku pun menghadap ke arah Pak Restu. Wih, ternyata ada gunanya bisep milik Pak Restu, gak cuma buat nambah ganteng aja. Tapi bisa buka botol minyak tawon.
Saat ingin mengambil botol minyak tawon-nya kembali, aku dikagetkan dengan tangan Pak Restu dihadapan wajahku, ia mengoleskan minyak tawon di dahiku yang benjol dengan jarinya. Deru nafas Pak Restu terasa di atas hidungku yang mancung ke dalam, dekat banget. Awkward ini tuh.
"Cieeeeeeeeee."
"Sakit, woy." teriakku tiba-tiba.
Rusak sudah rusak, momen ini. Benjol di dahi gak sengaja ke senggol jari Pak Restu yang fokusnya di rusak, kaget karena sorakan heboh dari anak-anak melihat Pak Restu mengoleskan minyak tawon ke dahi benjol milikku, setelah mereka selesai memakan es mambonya masing-masing.
•••
Semangat yang lagi puasa!!!
Makasih udah baca dan vote!!!

KAMU SEDANG MEMBACA
IMPOSSIBLE
RomanceBuat mahasiswa, ketemu dosen yang baik, cakep dan gak pelit nilai itu anugerah. Gimana kalo kamu ketemu dosen yang baiknya dikit, gak pelit nilainya agak banyak dikit, tapi cakep bin julidnya banyak? Terus ditambah modusnya alus? Minat? ••• A story...