Tӧlu

65.2K 5.8K 116
                                    

•••

Tin. Tin. Tiiinn.

Suara dari klakson-klakson pengendara di jalanan, entah itu mobil, truk, motor atau odong-odong di Jakarta yang saling bersahutan sudah tidak asing lagi terdengar dan membuat polusi suara. Mungkin membunyikan klakson terlalu sering sudah menjadi lifestyle warga Jakarta bagi yang memiliki kendaraan dari dulu.

Krik. Krik.
Sedangkan suara jangkrik menghiasi sekitarku sekarang, sebenarnya gak ada jangkrik sih di dalam mobil milik Pak Restu. Sebentar deh, aku lagi mikir kok mau-maunya sih diajak pulang sama si restu ibu. Saat kupandangi bagian dalam Fortuner hitam milik Pak Restu, gak sengaja mataku akhirnya bersirobok dengan mata beliau.

"Eits, bentar pak." Aku refleks megang bahu kiri beliau. "Eh maaf." Aku tarik lagi, karena dia ngelihatin tanganku dan itu juga gak sopan. Kan beliau orang tua, dosen lagi. Nanti dikira modus, modus minta nilai nambah.

"Kenapa Re?" Dia menjawab kemudian menoleh sebentar tetapi tetap fokus menyetir mobil.

"Ini gak etis deh, pak."

"Gak etis gimana, Re?" Dia nanya, semacam gak terima. Alisnya yang hitam tebal kayak dipakaikan pensil alis mahal mengkerut.

"Gini pak, bapak kan pendidik saya pelajar yang diajarkan oleh bapak. Masa' saya numpang mobil untuk pulang sama bapak sih. Gak etis, pak." Dia ketawa, kan aku gak ngelucu, lagi protes loh ini.

"Wajar kok, Re. Santai saja sama saya. Hitung-hitung balas budi, waktu itu kamu bantuin saya di ruang dekan melepas kancing jas punya saya." Anjir. Dia ingat yang itu.

"Pak? Masih ingat?" Aku menyembunyikan wajah yang memerah dengan memandang luar jendela di samping kiriku, itu tuh malu-maluin banget. Tapi kenapa si restu ibu ingat adegan memalukan yang udah lama?

"Ingat, Re." Dia jawabnya sambil ketawa, aku cengo gak kuat lihat ketawanya lagi. Matanya nyaris hilang kalau ketawa. Tinggal aja kali yah kalau misalnya dia ketawa lagi, kan ga keliatan sama Pak Restu. Matanya sudah kayak merem gitu.

"Saya turun di sini aja deh, pak." Aku melihat-lihat ke arah jalan. Di depan dan gak jauh ada halte, biasanya di sana ada angkot yang suka nge-tem.

"Sebentar lagi sampai, Re. Saya juga memang searah sama stasiun Tanjung Barat. Kebetulan saya mau ke Depok. Kan lumayan mengurangi ongkos pulang pergi kamu, dan bisa menambah uang jajan mahasiswa kayak kamu." Dih. Kayaknya ga ada yang nanya dia mau ke mana. Ini lagi ditambah ngejek. Maksudnya mahasiswa kayak aku emang gimana?

"Kere maksud bapak?" Mata sinisku diarahkan ke restu ibu. Julid kok nanggung sih? Sekalian aja beneran turunin aku di sini.

"Enggak, Re. Enggak." Ketawa lagi. Ya Tuhan.

"Udah pak, turunin aja saya di sini kalo bapak ketawa lagi." Aku udah engap. Sumpah. Lihat Pak Restu ketawa.

"Kenapa eh? Memangnya kenapa sama ketawa saya?" Dia beneran nanya gak sih? Emang ya kalau orang cakep tuh suka gak sadar, kalau pesonanya bisa bikin orang di dekatnya megap-megap kayak ikan mujaer gak dikasih air.

"Gak deh, pak. Gak jadi." Diam. Kita berdua diam, gak ada yang ngomong. Garing. "Pak, tadi kalau ada yang lihat saya masuk mobil bapak gimana? Terus menimbulkan skandal? Kan bisa gak tenang masa-masa kuliah saya."

Jadi tadi tuh setelah Pak Restu mengirimkan WA-nya dan cuma aku read aja terus aku jalan dengan bengong mau keluar kampus, sudah mau sampai gerbang fakultas. Tiba-tiba Pak Restu telfon via WA, soalnya nomor WA milikku gak connect sama kartu SIM. Aku panik pas ditelfon Pak Restu. Yaiyalah, tengah hari bolong lagi panas-panasnya tiba-tiba di ponsel muncul foto DP WA Pak Restu yang ganteng lagi nyengir gitu, ditambah getar dari ponsel karena telfon. Dan dia cuma bilang, "saya sudah di depan gerbang. Fortuner hitam. Mobil yang di depan, cuma ada punya saya saja. Kamu langsung naik ya, Renata. Duduk di depan, saya gak terima jadi supir kamu." Keterangan yang dikasih kurang kayak driver online apa coba dari Pak Restu.

Dan begonya, setelah telfon mati aku mengangguk-angguk di jalan sambil keluar gerbang fakultas, sampai masuk ke mobil punya Pak Restu juga masih bengong, aku juga salah naiknya. Aku tadi membuka pintu mobil belakang, bukan yang depan. Mungkin kalau gak digertak sama Pak Restu, aku sudah bisa diculik dan dimutilasi karena gak sadar.

"Enggak, Re. Skandal gimana maksud kamu? Dosen-mahasiswa gitu? Di kampus juga gak ada larangan, Re. Dosen balas budi ke mahasiswanya." Pak Restu meyakinkan bahwa gak mungkin aku pulang sama dia bisa menimbulkan skandal. Gak deh, gak pulang bareng. Hanya diantar sampai stasiun terdekat.

"Saya turun ya, pak." JPO dekat stasiun sudah terlihat, banyak ojek online yang menurunkan penumpangnya di sana.

"Di sini aja ya, Re." Mobil Fortuner Pak Restu pun berhenti, ditempat yang jauh beberapa meter dari JPO. Pintar, gak bikin macet. Aku juga gak keberatan kok diturunkan jauh tapi berhasil untuk tidak menyumbangkan kemacetan Jakarta.

"Makasih loh, pak." Aku baru mau membuka pintu mobilnya, tangan kananku ditahan Pak Restu, "kenapa nih, pak?" Aku ngelihatin tangan Pak Restu dan melihat ke arah ekspresi kikuk si restu ibu.

"Nanti WA dari saya dibalas ya, Renata." Dia menggoyangkan ponsel ditangannya. Lah? Kan emang akan ku balas, aku kan mahasiswa yang lagi konsultasi tugas dari beliau.

"Iya atuh, pak. Nanti saya balas kalau bapak tiba-tiba ngabarin gak bisa kasih konsul di jam segitu untuk tim saya. Makasih pak sekali lagi." Fix, aku turun cepat-cepat dari mobil itu. Merinding. Ngeri ditahan lagi terus gak dibolehin turun. Karena, tadi muka Pak Restu kayaknya mendadak be-te, muka sadis yang di kelas nongol lagi. Hii. Tapi tetap ganteng sih.

Setelah tap tiket krl, aku masih mikirin, kenapa Pak Restu minta WA-nya dibalas. Aku mahasiswa tahu sopan santun kok, WA dari dosen pasti aku balas. Apalagi kalau urgent.

Setelah dapat kursi untuk menunggu krl datang di stasiun, aku pun mengecek ponsel. Baru dipikirin dan baru tadi kita satu mobil, beliau sudah chat WA lagi.

Pak Restu Dos
Kalau pun bukan mengenai konsul, saya minta kamu masih tetap membalas WA atau angkat telfon dari saya, Renata.

Lah? Si bapak ngapa yak?

•••

IMPOSSIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang