Dua Ẃulu A'Sara

46.8K 4.2K 100
                                    

•••

Untuk mengisi awal liburan kali ini sudah ku siapkan sejak semester lalu. Sebelum magang pertama dimulai, aku berniat untuk mengikuti sebuah proyek sosial dari komunitas mengajar yang dikelola oleh kakak sepupuku. Mengajar di sebuah daerah tertinggal, membagikan ilmu yang aku miliki pada mereka, memenuhi keinginanku sejak lama.

Kak Melda, sepupuku. Ia kemarin memberi kabar bahwa jam satu siang nanti akan dilaksanakan technical meeting, sebelum pemberangkatan. UAS-ku hari ini selesai pada pukul 11, tempat diselenggarakannya technical meeting tersebut tidak jauh dari kampus, hanya berjarak tempuh sekitar 30 menit jika menaiki motor.

Kegiatan technical meeting berjalan dengan lancar, berlangsung cepat karena tempat mengajarnya tidak terlalu jauh dari Jakarta sehingga persiapannya tidak terlalu rumit. Lagipula aku hanya mengikuti seperempat kegiatan dari proyek sosial tersebut dikarenakan waktu yang bertabrakan dengan magang pertamaku. Kami diberi waktu dua hari untuk mematangkan mental serta menyiapkan barang bawaan, yang berarti aku tidak mungkin menemani Pak Restu ke acara reuni beliau nanti. Orangnya marah gak nih ya?

Keesokan harinya, aku dan Mia mampir ke kampus melengkapi tugas yang belum, serta mengembalikan buku dari perpustakaan yang kemarin ku pinjam untuk mengerjakan tugas. Sedangkan Mia, katanya ada keperluan dengan bagian akademik kampus.

"Re, ke kantin dulu yuk. Gue haus butuh air putih." Mia mengibaskan tangannya di depan wajah. Terasa gerahnya. Kenapa sih Jakarta makin panas? Apa gara-gara pemudik dari Jakarta yang kalau pulang sekalian bawa saudaranya, terus bikin pasokan oksigen semakin menipis?

"Gue ada minum, Mi. Jangan boros deh. Lo menyumbangkan pencemaran tau gak, kalau cara lo hidup kayak gitu. Gimana Jakarta gak banjir terus?" omelku pada Mia sambil menyodorkan botol minum dari dalam tas. Ah, jadi ingat Pak Restu, ia waktu itu menyuruhku membawa botol minum miliknya yang bentuknya kayak ibu-ibu hamil, gede banget coy.

"Ih, bawel lo. Udah kayak nyokap-nyokap." Mia merengutkan bibirnya dan menyimpan botol minumku ke dalam tasnya.

"Eh, eh mau kemana anjir." Aku menarik kuncir rambut Mia, katanya mau ke akademik. Eh ini anak malah jalan ke arah sebaliknya alias ke kantin.

"Gue laper, Re. Sumpah." Kali ini Mia memasang wajah memelasnya, "gue belom sarapan." Kalau Mia bilang belom sarapan, artinya ia sudah minum segelas susu pagi ini ditambah satu slice roti dengan selai blueberry, tapi lambungnya belum terkena sebutir nasi. Kurang Indonesia apa coba, temanku satu ini?!

Sesampainya di kantin, sesuai prediksiku. Mia memesan nasi uduk versi komplit dengan kerupuk yang menggunung dan sudah duduk cantik di kursi kantin. Mia termasuk tipe manusia yang hanya akan mengembang di pipi kalau makan banyak, sedangkan aku? Jangan ditanya, kayaknya mengembang di mana-mana deh.

Aku menyapu pandangan ke sekeliling kantin sambil menikmati jus alpukat favorit, lumayan ramai keadaannya di jam-jam segini. Karena waktunya anak kos sarapan. Untuk menghemat uang aku sarankan buat kalian, kalau mau makan mepet-mepet makan siang aja. Biar bisa dirapel deh makannya. Cerdas kan?

Sepulang technical meeting kemarin, rasanya gak nafsu makan. Pahit semua di mulut. Yang biasanya keliatan enak banget kayak mie ayam pangsit dekat rumah yang biasa di beli oleh ibu, kemarin jadi kayak biasa aja rasanya. Tapi abis sih, semangkok.

"Rere, lo kenapa sih bengong terus dari pagi?" Mia menyenggol lenganku.

"Ah, eh. Kagak ngapa, suer dah. Kagak mikirin apa-apa kok gue."

Mia memutar bola matanya, ia selalu tahu kalau mood-ku sedang tidak baik. Kenapa juga jawabnya begitu? Emang mikirin apa sih, Re?

"Serius, Mi. Gue kaga kenapa-kenapa." kataku meyakinkan Mia, ia menghembuskan napas kasar dan mengaduk ice lemon tea miliknya.

IMPOSSIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang