Fele Jara

52.1K 4.9K 60
                                    

•••

Aku berjalan cepat menuju lift, takut dikejar Pak Restu. Ngeri kan kalo ada adegan film india di kampus sama dosen sendiri? Bisa heboh sampe rektorat.

Aku sebenernya gak bego-bego banget sama kodenya Pak Restu, tapi jadi manusia keturunan Adam dan Hawa yang waras juga gak sebego itu meng-iyakan perasaan gak jelas dari dosen yang baru dikenal belum sampai 5 bulan ini. Komunikasi aja jarang tapi doi lancang banget ngomong kayak gitu.

Mikir keras kayak gini bikin aku gak sadar ternyata lift udah sampai basement dan pas keluar dari lift muncul si resturan dari lift sebelah. Aku yang mau keluar jadi masuk lagi ke dalam lift. Tiba-tiba, tas terasa ada yang narik dari belakang. "Duh, mampus." Batinku.

"Renata." Panggilnya. Siapa lagi kalau bukan Pak Restu, "ikut saya sebentar."

Aku celingak-celinguk, untung keadaan lift di basement sedang sepi. Mati kutu lah kalau ramai. Aku mengekor di belakang Pak Restu ke arah mobilnya. Jarakku dengan si Restu ibu bisa lah dua meter. Segini aja jantung udah dag dig dug.

"Masuk, Renata." Pak Restu membukakan pintu mobilnya kemudian melihat ke arahku.

"Bapak masuk duluan. Nanti saya nyusul deh." Gak mau lah dibukain kayak gitu, bikin ge-er aja dah. Si resturan mendengus, kemudian berlari memutari mobilnya dan masuk. Sedangkan aku, masih celingak-celinguk memastikan keadaan gak ada siapa pun yang lihat aku masuk ke mobil Pak Restu kecuali Tuhan dan Malaikat-Nya. Karena gosip adalah hal nomor satu yang harus dihindari.

Setelah duduk di mobilnya yang mahal dan terdengar pintu mobilnya terkunci dan mesinnya dinyalakan, aku siap-siap pasang seat belt. Belum bunyi cklek di seat belt milikku terdengar, julidnya seorang Restu Adinugraha terdengar duluan.

"Kamu ngapain pasang seat belt? Emang saya mau ajak kamu kemana?" Aku memutar bola mata dengan malas dan merapihkan kembali letak seat belt-nya.

"Maaf, pak. Saya kege-eran." Selanjutnya aku terdiam, terserah si resturan mau nge-julid apa lagi. Pasang sabar yang banyak.

"Saya tadi belum selesai bicara. Kamu gak sopan." Oke. Di sini aku akan di sidang.

"Iya pak." Diiyain aja biar cepat selesai.

"Kamu gak deg-degan atau kaget atau apa lah dengar saya ngomong kayak gitu tadi?" Aku melirik ke arah Pak Restu dengan tatapan aneh, yang dilihat malah sibuk memainkan handphone-nya.

"Menurut ngana? Saya tadi kabur kenapa?" Duh. Goblok. Keceplosan. Aku mengantuk-antukkan kepala ke arah jendela mobil. Sedangkan, terdengar suara tawa berdesis tapi pelan dari sebelah kanan alias si Resturan.

Bagus, Renata. Mulut dan harga diri sedang tidak sinkron.

Si Resturan kemudian mengulurkan sebuah box berwarna merah marun yang dia ambil dari jok belakang, "oleh-oleh untuk kamu."

Rezeki ambil tidak ya?

"Terima, Renata. Saya sudah bawa ini jauh-jauh tapi gak kamu terima? Nilai kam.." Aku buru-buru mengambil box berpita yang tadi ia sodorkan. Wah gila sih, ngancemnya nilai sekarang.

"Pak, kok sekarang bawa-bawa nilai sih? Gak fair dong." Aku mencebik kesal sambil mengelus-elus box yang gak tahu isinya apa, tapi box-nya aja lucu banget. Kayak yang ngasih.

"Buka, Renata." Si resturan yang gak sabar nyuruh buka box-nya. Aku membuka box-nya dimulai dari pita berwarna pink yang diikat di atasnya.

Dan, sumpah. Aku bengong. Dia ngasih baju?!

Aku buru-buru merapihkan kembali isi dari box tersebut dan mengikat kembali pita yang lucu tadi.

"Pak." Aku menyerahkan box tadi ke Pak Restu.

"Gak, Renata. Gak ada kata balik ke saya lagi." katanya. Tampangnya mulai bete, tapi masih enak dilihatnya. Ganteng mah bebas.

"Hmm." Aku mikir keras, gak sopan sih kalau gak diambil, secara kalau pun aku balikin jadi mubazir juga. Gak mungkin kan si Resturan pakai buat sendiri? Ah iya. Gak mungkin dia pakai sendiri, tapi mungkin kan bisa dia kasih ke perempuan gebetannya yang lain?

Fix. Renata, lo kesengsem parah sama si resturan.

"Saya sengaja letakkan itu di jok belakang, siapa tahu kalau saya ke kampus, terus ketemu kamu. Saya bisa kasih itu ke kamu." Dia mulai memasukkan gigi mobilnya dan menjalankannya perlahan keluar dari parkiran basement kampus. Aku nyerah, kalah udah kalau sama si Resturan. Lemah bro! Dan meletakkan box tadi di atas pangkuanku.

"Eh, pak. Mau ke mana? Saya kan tadi mau ke perpustakaan kampus. Belum mau pulang." Aku panik. Ini tugas apa kabar, udah mau diculik aja.

"Kita makan dulu, saya lapar ngomong sama kamu." Aku mendengus mendengarnya. Ngana yang ajak ngomong, sini yang kena julid.

"Jangan jauh-jauh, pak. Saya mau nugas habis ini di perpus."

"Kalau gak jauh, nanti ketahuan anak kampus ini. Kamu juga kan yang panik?" jawabnya, tapi pandangan mah fokus sama jalan. Sabar Renata, hidup itu memang penuh ujian.

•••

Sabar ya nunggu apdetan eyke juga ujian.
Laff yuuu ol
🙌😁

IMPOSSIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang