Tilu Wulu A'Sara

45K 4.5K 282
                                    

•••

Pak Restu menyerahkan cup J.Co yang ada ditangannya padaku. Aku gak tahu mau jawab apa dari pertanyaan Pak Restu, takut si pak tua satu ini sensitif. Mana tampangnya gak enak lagi.

Aku melirik-lirik ke arah si Restu ibu yang berjalan di sampingku, tangannya ia kaitkan dengan milikku. Biar aku gak hilang katanya, emang aku anak playgroup, di Mall aja bisa hilang. Tatapan matanya lurus ke depan, bibirnya terkatup ga ngomong sama sekali dari tadi, sepertinya masih nunggu jawaban dariku. Ponselku juga belum balik sampai sekarang, mati aku.

Kami berdua berjalan ke arah parkiran mobil, gak jalan deh. Aku diseret. Cepet banget jalannya.

"Diminum yang kamu pegang." perintahnya tiba-tiba.

Ia menunjuk pada cup Cafe Avocado ditanganku dengan dagunya.

"Pak Restu ga minum? Ga haus?"

"Sudah." jawabnya lagi.

Aku menyeruput minuman avocado yang sudah di mix, lewat sedotan, tanganku yang kiri masih digenggam Pak Restu. Pegal gandengan kayak gini. Tapi suka. Gak deh, bohong.

"Maaf."

"Hah? Apa, Pak?"

Untung aja aku gak keselek sedotan J.Co yang kayak pipa, gede banget gini.

"Maaf, saya galak banget sama kamu."

"Hah? Apa, Pak?" ulangku.

Pak Restu kayaknya kesambet penghuni Mall ini deh. Jadi ngeri main ke sini lagi.

"Saya minta maaf." katanya lagi.

Ia menghentikan langkahnya, sebelum sampai ke posisi di mana mobilnya terparkir.

"Bentar deh, Pak."

Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya, mau buang sampah cup minuman yang sudah habis.

"Ke mana, Renata?" Ia mengeratkan genggamannya, mata dominannya yang setiap pertemuan di kelas agak menakutkan. Kini di hadapanku sekarang hanya ada mata sayu dan lelahnya yang terlihat sok tegar. Takut kehilangan, takut ditinggalkan.

"Saya cuma mau buang cup kosong ini, Pak." jawabku hati -hati sambil menggoyangkan cup minuman yang hanya tersisa beberapa ice cube yang sudah mengecil. Mata Pak Restu melihat cup kosong di tanganku, ia kemudian melonggarkan genggaman tangannya padaku diiringi hembusan nafas lega.

Si Restu ibu kenapa deh? Kok aneh. Pikirku saat berjalan ke arah tempat sampah terdekat.

Ia menungguku di depan pintu mobil, badannya disandarkan di sana. Di kedua tangannya ada ponselku dan ponsel miliknya, gak tahu deh di apain. Mentang-mentang ponselku gak pernah dikasih password, jadi seenaknya diotak-atik.

"Ponsel saya, Pak." tegurku padanya.

"Nanti." jawab Pak Restu sambil membukakan pintu mobilnya untukku. Ponselku kembali di simpan dalam saku celana. Alamat panjang urusannya. Ponselku diapain, Ya Tuhan.

Matanya tadi itu loh, bikin kesel banget. Kenapa si Restu ibu matanya gampang banget dibaca? Kan jadi ngerasa bersalah. Mau kabur tapi gimana, gak tega juga kalau mau ninggalin. Ponselku juga masih sama Pak Restu.

Aku menggerutu sebal menghadap luar kaca mobil, sedangkan Pak Restu memanaskan mobil Fortuner-nya cukup lama. Gak jalan-jalan dari tadi.

"Kamu marah sama saya?" Terdengar suara si Restu ibu menginterupsi di sela-sela deruman suara mesin mobilnya.

IMPOSSIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang