Fele Lima

47.5K 4.3K 64
                                    

•••

Selepas menjawab telfon dari Pak Restu, Mia memperhatikanku dengan mata meledek serta penasaran.

"Apa katanya apa?" heboh Mia.

"Gue cuma disuruh ngumpulin lembar evaluasi ke ruangannya, Mi. Please deh. Kenapa lo jadi excited banget?" jawabku dengan malas. Kalau dipikir-pikir, aku bisa sakit ketemu Pak Restu melulu. Pesonanya gak bagus buat diserap tubuh. Terpaksa juga ketemu beliau lagi, karena aku penanggung jawab dari mata kuliahnya.

"Gih, Ren. Kumpulin aja sekarang." Aku yang disuruh, Mia yang semangat. Aku tuh malas ketemu, rekannya Pak Restu yang waktu itu.

"Mia, Pak Restu sekarang ada jam lagi tau. Gue ngumpulinnya nanti aja agak sore atau siangan. Lagi kita kan mau nugas. Lo gak ingat?"

"Oh iya ya. Kan mau ngerjain tugas yang setumpuk." Mia mendadak bete lagi mengingat tugas akhir yang menumpuk minta ditimpuk.

✖✖✖

"Duh. Berat banget deh bawaan gue, ada laptop segala." keluhku selesai mengerjakan dan mencari buku yang dibutuhkan dari perpustakaan, "Mi, lo mau langsung balik?"

"Iya, Ren. Gue disuruh antar nyokap nih. Belanja bulanan. Sorry ya, gue balik duluan." kata Mia seraya merapihkan isi tasnya.

"Gak apa-apa, kok Mi. Doain aja gue gak kenapa-kenapa di ruang dekanat ketemu si Restu ibu." Nelangsa banget sih nasibku, ditinggal teman eh masuk lubang singa.

"Cieeeeee udah punya panggilan sayang. Gak nyangka gue sama Pak Restu seleranya macam lo begitu, gue kira seleranya model Bu Mahya." ledek Mia, "udah ya gue duluan. Bye baby, Renren. Good luck." Kebiasaan deh si Mia, kalau mau pulang kita cipika-cipiki dulu—cium pipi kanan-kiri, udah kayak ibu-ibu mau pulang arisan.

"Eww. Pulang sana dicari mamih." cibirku pada Mia yang masih melambaikan tangan berjalan ke arah parkiran mobil. Sepeninggal Mia, aku berlalu ke arah gedung A di mana ruang dekanat berada alias sarangnya Pak Restu.

Ngomong-ngomong, Bu Mahya itu dosen idola dari para mahasiswa pemilik jakun yang ada di fakultas ini. Kalau misalnya ada pemilihan King and Queen di fakultas, pemenangnya pasti Pak Restu dan Bu Mahya.

Hari ini di depan ruang dekanat hanya ada satu satpam yang berjaga, Bu Ami namanya. Di fakultas kami, satpam pun ada yang perempuan.

"Permisi, bu. Saya mau ketemu Pak Restu." sapaku pada Bu Ami.

"Iya neng. Silahkan, sudah tahu ruangannya kan?" tanya Bu Ami, beliau mungkin sudah familiar dengan wajahku yang sesekali berpapasan dengannya di gedung ini.

"Iya, bu. Terimakasih. Permisi." jawabku dan berjalan menuju ruangan Pak Restu yang terletak di ujung lorong. Ruang dekanat di waktu siang menuju sore hari bisa dibilang sangat sepi, karena penghuni ruangan ini terlampau sibuk dengan urusannya di luar kampus. Sangat sulit untuk ditemui.

Aku mengetuk pintu utama ruangan Pak Restu yang di dalamnya terdapat beberapa ruangan lagi, seperti ruangan meeting dan ruangan untuk masing-masing dekanat atau pun asistennya. Pintu pun terbuka, yang muncul adalah rekan Pak Restu waktu itu yang dipanggil 'bim', mungkin namanya Bimo atau Bima.

"Eh, pasti nyari Restu ya? Yang waktu itu kan?"

Kampret. Pakai ingat lagi, padahal itu sudah lama, banget malah.

"Iya, kan? Masuk aja. Restu lagi makan siang." ulangnya lagi.

Duh gila. Tengsin.
Aku pun memasuki ruangan tersebut sambil menunduk, malu lah dia ingat kejadian waktu itu. Aku memutuskan untuk duduk di salah satu kursi yang berhadapan dengan sebuah meja.

"Renata kan?" Pak Restu keluar menenteng sebuah gelas kaca besar berisi air yang biasa dipakai minum oleh bapak-bapak, aku juga sering pakai sih. Kebiasaan nih Pak Restu, makan siangnya telat. Ini sudah hampir jam tiga sore.

"Iya, pak. Maaf mengganggu, saya cuma mau mengumpulkan ini." Aku melambai-lambaikan setumpuk lembaran evaluasi, kemudian berdiri hendak pamit.

"Enggak. Kamu duduk saja dulu." kata Pak Restu. Gimana sih kan doi lagi makan, gak enak lah.

"Lah, pak? Saya kan mau pulang." sahutku saat melihat Pak Restu memasuki ruangannya. Si Bimbim, teman Pak Restu melihat interaksi kami dengan penasaran, dia juga bingung kali ya sama temannya sendiri, orang mau pulang ditahan-tahan sedangkan ia sendiri mau makan.

"Kamu duduk dulu di sana." Pak Restu keluar lagi dari ruangannya, ia meletakkan nasi kotak yang isinya baru dimakan setengah di atas meja yang ada di hadapanku, kemudian Pak Restu menarik kursi untuk ia tempati, "saya tahu, ada yang mau kamu tanyakan, kan?" lanjutnya.

"Enggak, pak. Saya cuma mau pulang. Masa' saya nontonin bapak makan gini sih, saya juga kan jadi lapar mau makan, pak." protesku.

Gak ada angin gak ada hujan, temannya Pak Restu yang juga baru memulai acara makan siangnya tertawa terbahak-bahak, "mahasiswi lo, Res?" tanyanya setelah menyelesaikan tawa terbahaknya.

"Iya." jawabnya santai dengan gayanya yang sok ganteng tapi si-a-lan emang doi ganteng, lalu meneruskan acara menyuap nasi dan lauknya.

"Dikasih minum aja enggak, disuruh nontonin orang makan." kataku pelan sambil mengeluarkan ponsel dari saku blouse milikku. Bosen lah, nungguin orang makan. Lagi ini ruang dekanat, tempat suci dari mahasiswa. Meskipun sepi dari dosen-dosen yang lain, ini tuh gak etis banget tau.

"Kamu ngomong apa, tadi?" tanya Pak Restu.

Syukur dia gak dengar.

"Kasih minum dong, Res. Cantik-cantik dianggurin." sahut temannya Pak Restu, wih peka.

"Gak usah, pak. Makasih. Saya bawa kok di tas." Aku tersenyum kikuk kepada teman Pak Restu.

"Pak, bapak ngapain upload foto saya di Instagram sih?" tanyaku dengan berbisik, melihat Pak Restu telah menyelesaikan suapan terakhirnya. Lama banget lagi makannya, sesuap isinya sebiji-biji nasi.

"Suka-suka saya lah." jawabnya santai, kemudian meminum air putih dari gelas besarnya.

"Ya gak bisa gitu dong, pak." Aku ngotot. Mona si lambe fakultas sudah mulai curiga, bisa berbahaya kalau beritanya sampai menyebar lewat mulut ember miliknya.

"Wajah dan dahi kamu yang benjol itu juga gak terlihat, Renata. Gak bakal ada yang sadar." Pak Restu membalasnya gak mau kalah.

"Hapus, pak. Please. Diarsipkan juga gak apa-apa, asal gak muncul di feeds." ulangku, masih usaha dengan menawarkan solusi kalau memang dia gak mau menghapus foto tersebut. Emang dari sananya sudah batu manusia satu ini, jadi jawabannya juga bikin dongkol.

"Suka-suka saya, Renata." Ia berdiri dan berjalan ke arah toilet yang ada di dalam ruangan, mungkin ingin cuci tangan.

"Hapus foto saya, pak. Atau saya hack Instagram punya Pak Restu." ancamku sebelum dia masuk ke dalam toilet, sebenarnya aku gak bisa sih hack akun orang. "saya pamit, pak. Permisi." Kesal hamba, Ya Tuhan, mending pulang aja.

"Oh, jadi ini, Res? Wujud asli yang ada di Instagram." terdengar suara makhluk lain yang terlupakan, ternyata dia masih ada di dalam ruangan yang sama yaitu temannya Pak Restu, si Bimbim. Aku dengan refleks menoleh ke arah si Bimbim yang duduk gak jauh dari pintu keluar. Mau langsung wisuda aja rasanya, biar gak usah ke kampus lagi ketemu si Bimbim, malu woy ketangkap basah lagi untuk kedua kalinya di ruangan ini.

Aku berlari menuju pintu untuk keluar dari ruangan Pak Restu sambil menunduk, menutupi wajahku supaya si Bimbim gak lihat dan gak ingat lagi aku yang mana.

Jeduk.

"Renata!"

Aduh, bego. Pintu ruangannya kan perlu ditarik kayak pintu kulkas kalau mau dibuka.

•••

Makasih udah mampir, baca dan vote!!!

Maaf kalau suka ada typo hehehe

IMPOSSIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang