Tilu Wulu A'Tilu

82.1K 5.8K 923
                                    

•••

Pak Restu betah banget di rumahku. Aku udah kode-kode ngusir, tapi dia gak beranjak juga. Padahal seingatku, tadi si Resturan udah janji sama Pak Bimo buat balik ke kampus.

"Pak, gak mau pulang?" tanyaku, ngusir sebenarnya.

"Nanti. Jam segini tol padat." jawabnya setelah melihat pada jam tangan miliknya.

"Ya terus?"

"Tunggu sepi."

"Nunggu di sini?" Aku masih gak percaya sama jawabannya Pak Restu, dia mau nunggu jalan tol sampai sepi. Ya kali dah, dibeli aja jalan tol-nya, baru deh sepi.

"Iya." jawabnya lagi santai, berasa rumah sendiri kali. Emang udah berapa kali sih, ke rumah?!

Ibu Heni juga gak keberatan lihat Pak Restu masih nongkrong cantik di rumahnya. Bahkan, cemilan cadangan milikku dikeluarkan semua olehnya, isi kulkas pun diturunkan oleh Ibu. Sekarang juga, beliau sedang membuat puding andalannya di dapur. Jangan salah, beliau ahlinya memasak makanan berjenis dessert. Aku bisa sampai sakit gigi kalau Ibu sudah mengeluarkan jurus andalannya, membuat berbagai dessert di akhir minggu. Padahal makanan hasil karyanya sudah dibagikan juga pada tetangga, tapi tetap saja makanan tersebut masih terlihat utuh di dalam kulkas. Karena ayah yang memang tidak terlalu suka makanan manis, jadi aku yang jadi korban harus menghabiskannya.

Rumah minimalis milik Ayah Arifin ini hanya ditempati oleh kami bertiga, Ayah Arifin, Ibu Heni, dan Renata yang cantik jelita anak ayah dan ibu, princess satu-satunya di rumah ini, kata Ayah Arifin. Kekanakan, kalau dipikir olehku sekarang yang sudah masuk kepala dua. Belum tua deh, aku masih ABG. Tapi Pak Restu ngomongin married terus kalau sama aku, malas dengarnya. Aku kan masih cocok kalau pakai seragam SMP, masa diajak diskusi soal nikah-nikahan. Kayak sekarang ini, kupingku sampai panas dengarnya.

"Renata, kalau resepsi dengan garden party di rumah kamu juga bagus. Gak usah sewa tempat juga bisa di sini, atau kamu mau di gedung aja?"

"Kan Pak Restu yang nikah, masa acaranya di rumah saya sih."

Aku memutar bola mataku, malas dengarnya. Emang sih halaman di sekitar rumahku lumayan besar. Untuk membuat acara di sini dengan tamu undangan yang banyak, masih bisa tertampung.

"Kan acara kamu juga."

"Ih saya mah nanti. Di mana aja boleh nikahnya."

"Oh jadi gitu, di mana aja menurut kamu." Pak Restu mengangguk-angguk dengarnya, sambil nahan senyum. Senyum mah senyum aja, nahan banget.

"Iya di mana aja. Yang penting akad, ada wali, penghulu, saksi. Tapi yang jelas mah harus ada calon mempelainya dulu. Terus .."

"Kan udah ada, Renata. Saya sendiri." potong Pak Restu, diiringi senyuman maut andalannya.

"Buu! Ibu Heni, Pak Restu mau pamit nih kayaknya." teriakku pada Ibu yang masih sibuk di dapur.

"Enggak, tante. Enggak."

Si Restu ibu panik, siapa suruh ngomongnya ngaco kayak gitu. Udah mah dia ngomongin nikah terus, sekarang ngaku-ngaku.

"Nak Estu makan malam di sini dulu ya. Sekalian tunggu ayahnya Renata. Ayahnya bentar lagi sampai kok." rayu Ibu pada Pak Restu. Sedangkan yang diajak ngomong, matanya melirik-lirik ke arahku. Gak tau maksudnya apa. Pasti gak lain dan gak bukan, bermaksud buat ngeledek.

"Bu." Aku memberikan kode ke arah Ibu, "Bu, Pak Restu aja tadi mau pamit. Masa' sekarang ditahan-tahan, disuruh tunggu ayah."

"Gak apa-apa, Re. Kasian Nak Estu udah antar kamu sampai sini, masa' gak diajak makan sekalian."

IMPOSSIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang