Dua Ẃulu A'Tolu

44.6K 4.1K 283
                                    

•••

Kereta Commuter Jabodetabek memasuki Stasiun Depok, dua stasiun setelah Pondok Cina. Mas-mas berkaus hitam Eiger yang berdiri di sampingku, kini mengarahkanku untuk segera turun dari kereta, memegangi bahuku dengan salah satu tangannya. Lututku lemas banget nya gak udah-udah, sedangkan perut juga makin gak karuan, pegalnya di bagian belakang. Orang-orang di sekitar aku berdiri pasti ngelihat dengan tatapan aneh dan mikir yang enggak-enggak.

Pintu kereta dibuka, celah peron dengan kereta di Stasiun Depok lumayan jauh, lantai peron dengan kereta ada kali 15 sentimeter. Saat turun, Mas-mas berkaus hitam ini masih memegangi bahuku dan dengan refleks tanganku memeluk pinggangnya dari belakang. Sebenarnya dadaku udah kebat-kebit, gimana kalau ternyata ini pacar orang yang aku rangkul?! Tapi bodo amat dari pada jatuh masuk ke bawah peron. Nyawa bayarannya, eh tapi kalo berantem sama pacar orang nyawa juga taruhannya.

Ia mengarahkanku untuk duduk di salah satu kursi panjang yang ada. Gak tau sejak kapan, tote bag milikku sudah tersangkut di bahunya bersamaan dengan barang bawaan miliknya. Aku pun duduk di kursi panjang tersebut, memukul-mukulkan punggung bagian bawah, belakang perut terasa pegal di sana. Selalu seperti itu, udah kayak langganan nyaris tiap bulan.

Aduh, gila ini mah.
Si Mas-mas Eiger malah bantuin aku buat mukul-mukul bagian yang terasa pegal campur nyeri ini dengan tangan kanannya, tangan kirinya yang sudah repot dengan barang bawaan ia lingkarkan pada bahuku untuk menahan agar badanku tidak ambruk lagi kayak di kereta. Payah banget emang kalau siklus bulananku sudah kambuh. Segalanya jadi repot. Tas kamera si Mas Eiger ia letakkan di sampingku, sedangkan waist bag-nya sudah di sampirkan ke belakang badannya.

Nyaris sekitar lima menit kami begini, mencoba menghilangkan nyeri di bagian belakang. Gak tahu deh, jilbabku bentuknya udah kayak gimana. Pasti anak-anak rambutnya sudah mencuat keluar, keringat di pelipis juga udah luber. Pucat banget pasti, kayak mayat hidup.

"Makasih bangeett, ya mas." Akhirnya suaraku keluar juga.

"Beneran udah mendingan?" Alisnya menukik, kayak Pak Restu kalau lagi mikir keras. Kalau yang ini adem banget wajahnya, kalem-kalem menenangkan hati dan jiwa. Pak Restu mah apaan, menenangkan hati dan jiwa plus bikin berdesir bulu kuduk. Duh elah, Pak Restu lagi.

"Udah, kok." Aku merapihkan anak rambut yang keluar dari jilbabku dengan tangan kiri, berasa masuk komunitas jipon kalau begini. Kemudian, aku mencoba untuk menyangga badan sendiri, dengan berpegangan pada kursi tempatku duduk. Sekarang mah di stasiun jarang ada kursi yang ada sandarannya, hanya ada di beberapa tempat. Mas-mas Eiger mencoba melepaskan tangannya yang tadi memegangi bahuku, tapi yang ada badanku oleng lagi. Tangan kiriku menarik jaketnya, "eh, eh. Oleng. Kapal oleng."

Akunya latah, si Mas kaus hitam ini malah ketawa. Ketawa dikit aja udah manis banget. Aduh, semoga beneran bukan pacar orang deh. Ribet urusan. Mana badan doi agak ketarik gitu pas aku pegang jaketnya.

"Bawa minum gak?" tanyanya, aku mengangguk. Mengulurkan tangan meminta tote bag-ku kembali, tapi kocaknya malah si Mas ini salah paham ia mengulurkan tangannya juga, menjabat tanganku dan ia tersenyum lebar memamerkan giginya yang rapih serta lesung pipinya, "Adam."

Aku pun tertawa, tapi masih lemas banget. Kalau bisa mah mau ngakak-sengakaknya depan mukanya sekarang juga lihat dia salah paham, "Renata." jawabku sambil mencoba menetralkan suara.

Ia menggoyangkan tangan kami, seperti anak kecil yang baru kenalan, "eh tolong tas gue. Hehe." ucapku.

Adam pun melepaskan genggamannya pada tanganku, memberikan tote bag. Tapi bahuku masih dipegangi oleh tangan yang satunya. Repot deh ah, kayak emak-emak balik pasar di waktu lebaran.

IMPOSSIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang