Fele Ziwa

46.9K 4.3K 228
                                    

•••

Ujian akhir semester kali ini benar-benar menyiksaku lahir dan batin. Kisi-kisi yang diberikan oleh para dosen tidak seratus persen sama dengan yang mereka ajarkan di kelas, untuk itu lah fungsinya membaca referensi atau buku-buku di luar dari yang diwajibkan oleh dosen tersebut. Rumitnya merangkai kata saat mengerjakan essay, cukup membuatku keblinger-mabok huruf.

Ditambah beberapa mata kuliah yang dosennya memiliki aturan tersendiri, lembar jawaban diwajibkan bersih bening seperti tanpa noda, layaknya tagline sebuah pembersih kaca di televisi. Dosen tersebut tidak mengizinkan kita meninggalkan kotoran pada lembar jawabannya, entah itu pensil yang sisa hapusannya masih terlihat. Apalagi tip-ex, ia adalah sebuah kesalahan fatal saat mengerjakan. Kata beliau, saat ada kotoran di lembar jawabanmu, tandanya kamu ragu dengan apa yang kamu pikirkan dan yang akan kamu isi pada kertas. Padahal realitasnya tidak seperti itu, kemungkinan-kemungkinan buruk saat ujian kan bisa saja terjadi. Kembali lagi karena manusia ladangnya salah dan dosa. Apalagi saat ujian dan di mata dosen.

Belum lagi tugas akhir setumpuk, segabrek. Apalah itu. Membuang-buang kertas saja. Apa para dosen itu gak tau kalau mengerjakan tugas atau laporan sama saja menggunduli hutan?

Zaman semakin terdepan, teknologi semakin canggih. Tak ada salahnya tugas dikumpulkan via softcopy saja. Tapi, ada juga beberapa dosen yang mengerti jika nge-print tugas itu menghamburkan uang dan turut mendukung pemanasan global. Mereka akan menyuruh kami mengerjakan pada laptop masing-masing kemudian saat revisi bertemu dengannya, beliau akan mengecek langsung dari laptop kami. Dan hasil akhirnya baru akan di-print untuk diserahkan. Pak Restu, termasuk dosen yang menggunakan sistem tersebut.

Pak Restu pada semester ini, termasuk jajaran dosen baik hati dengan tidak membebani mahasiswanya tugas akhir yang dikumpulkan saat UAS. Dosen paling top markotop kalau kata ketua mahasiswa di kelasku, walaupun tegas dan disiplinnya minta ampun saat mengajar.

Mereka gak tahu, betapa lebay bin ngeselinnya Pak Restu kalau di luar jam mengajar. Seperti setengah jam yang lalu, setelah UAS hari kedua, kami bertemu di dalam lift yang penuh. Penuh dengan fans-nya Pak Restu yang berdesak-desakan bersama idola. Aku bukan termasuk mereka, ya. Yang ada Pak Restu nge-fans sama aku.

Kami sama-sama turun di lantai satu, sepertinya beliau ingin kembali ke ruang dekanat, sedangkan aku keluar untuk makan siang, mengisi perut yang keroncongan dipakai untuk berpikir. Tiba-tiba saja, saat isi lift behamburan suara rendah maskulin yang ku kenali milik Pak Restu berbisik di samping telinga kiriku sambil berlalu, "Renata, jangan lupa." katanya pelan.

Kata-kata ajaib itu berhasil membuat ujian di jam keduaku fokusnya lumayan terganggu, padahal aku sudah mati-matian untuk melupakan sementara hal-hal yang bersangkutan dengan Pak Restu.

Ditambah hari ini, Mona dengan bala gosipnya sedang membahas sesuatu yang hot, katanya. Aku menguping dari bangku depan mereka bergosip.

"Lo tahu gak sih, waktu itu gue ketemu Pak Restu 'hot' Adinugraha di Solaria."

Aku deg-degan yang dengar, jangan-jangan si Mona ngelihat aku dan Pak Restu waktu itu.

"Sama cewek gak?" sahut yang lain, memang ya kalau bahas Pak Restu harus ada bumbu-bumbu ceweknya biar hot.

"Cewek yang baru ini dia upload di IG?" yang lain nambahin.

Dag dig dug.

"Gue liatnya di daerah Depok."

"Masih lumayan dekat kampus dong."

Syukur deh. Waktu itu aku makannya di di tempat yang arahnya berlawanan, b daerah yang mereka sebutkan. Memang bahaya fans-nya Pak Restu.

"Tapi, sama siapa dia di sana?"

"Gue lihatnya sih ada dua gelas di mejanya. Berdua, fix." kata Mona.

Lah. Jadi ikut penasaran gini. Dahiku berkerut, ikut mikir. Jangan-jangan dia makan sama perempuan waktu itu, dan perempuan itu juga yang ia telepon saat di stasiun.

"Ren, mau join? sini aja." teriak Devi.

Emang dasar si kompor. Aku diam aja cengengesan, kesenangan kalau Devi diladeni. Untung aja walaupun suka join gosip sama Mona, dia gak ember mulutnya

"Eh." Mia menepuk bahuku, ia tersenyum lebar. Bahagia setelah kemarin malam mengobrol via telepon denganku hampir tiga jam, mendengarkan ceritaku sedetail-detailnya. Gak sih, aku belum cerita kalau harus menemui Pak Restu setelah UAS terakhir. Gak lama Mia dari datang, dosen pengawas ruanganku hari ini menyusul datang.

Keesokan harinya, Mona dan agen lambe fakultas kembali bergosip ria. Kata salah satu teman Mona, Shireen. Ia kali ini melihat Pak Restu di salah satu Mall daerah Pondok Indah. Kali ini wanita yang Shireen lihat bersama Pak Restu, mirip dengan ciri-ciri yang Mona lihat tempo hari, terlihat anggun dan blablabla.

Dua hari berikutnya juga seperti itu, dengan wanita yang sama. Kali ini Shireen berhasil mendapat foto dari mereka berdua di salah satu restoran yang ada di Mall tersebut, lalu Mona meng-iyakan bahwa itu wanita yang sama yang ia lihat tempo hari.

Aku yang penasaran akhirnya iseng membuka Instagram Pak Restu, jangan meragukanku, sebagai seorang wanita memang ditakdirkan memiliki keahlian pada jari dan matanya jika sudah penasaran, maka jari-jari ini akan berselancar mencari sampai ketemu di sosial media. Berbekal ciri-ciri dari sumber gogon-gosip-gosip underground, aku menemukan wanita tersebut di beberapa foto Instagram Pak Restu, foto yang di-upload sekitar satu tahun lalu. Ada foto mereka berangkulan. Mesra sih enggak, tapi cukup mencurigakan. Pak Restu masih awet hawt-nya di situ, padahal fotonya agak gelap diambil secara outdoor dengan pakaian kasual.

Gak lama saat aku lagi terhipnotis lihat-lihat isi Instagram Pak Restu yang lumayan rapih, nama orangnya muncul di layar LCD ponselku. Panjang umur banget, pak.

Aku pun mengangkat telepon WA darinya, tanpa curiga sekalipun.

"Kamu stalk IG saya?" tuduhnya diseberang sana, tapi terdengar seperti sedang menahan tawa.

"Eng, enggak, Pak."

Kok bisa tau?! Cenayang?!!

"Notifikasi-nya muncul di ponsel saya."

"Notifikasi apa, pak? Emang sekarang kalau stalk kelihatan?!"

Panik, edan sih ini mah teh.

"Coba kamu periksa lagi."

Aku kembali memeriksa aplikasi Instagram dan mengintip di akun milik Pak Restu.

Dan, JEBRET!
Ternyata aku memencet like hampir pada semua foto serta video di akun IG Pak Restu. Untung gak semuanya.

"MATI MATI MATI."

Aku langsung mematikan telepon WA dari Pak Restu tanpa salam atau apapun.

Baik banget sih si jempol ngasih like di saat diam-diam nge-stalk, nge-follow Pak Restu aja enggak.

•••

Selamat Hari Raya Idulfitri 1439 H
🙆💜🙆
((bagi yang merayakan))

Taqabalallahhu Minna wa Min Kum
Minal Aidzin wal Fa idzin


IMPOSSIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang