Dua Ẃulu A'Ziwa

45.6K 4.6K 637
                                    

•••

Keringat udah ngucur deras banget, aku menelan ludah, menetralkan degup jantung, dan senam mulut biar lancar jawabnya, "itu, Pak." jawabku.

"Itu?" Alisnya Pak Restu kembali berkerut, ia memotong perkataanku.

"Belum selesai, Pak saya jawabnya. Jangan dipotong dong."

"Lanjut, lanjut." katanya sambil menganggukkan kepala, udah kayak beberapa pembaca wattpad aja yang tiap komentar isinya cuma 'lanjut, next' doang. Singkat, padat, tapi sebenernya nyakitin. Panjangin dikit gitu kek komennya.

"Saya ada acara, Pak. Jauh, di luar kota." Aku menundukkan kepala, merasa bersalah. Tangan udah basah karena keringat.

"Iya. Saya tahu."

"Hah? Apa?!"

"Saya tahu. Kamu pergi ke sekitar daerah Banten, setelah UAS." jawabnya.

Kok serem sih? Sumpah deh.

"Kok tahu, Pak?" Aku melihat tampangnya yang santai, tetap tenang. Iya tetap ganteng juga. Gak ada tuh kelihatan bakat-bakat cenayang di sana.

"Iya saya tahu."

"Tahu dari mana? Kan saya gak ngabarin ke bapak." Aku menutup wajahku dengan tangan dan menyisakan sedikit celah untuk mengintip, takut-takut Pak Restu kayak orang-orang yang bisa baca pikiran, "gak lucu, Pak. Saya sampai merinding, nih."

Ia ketawa sebentar, kesel ih diketawain mulu. Emang sini badut?

Lampu merah menyala di depan, otomatis mobil Pak Restu ikut berhenti. Ia menoleh ke arahku, "nih Pak. Lihat pori-pori kulit saya sampai kelihatan karena merinding." Aku menunjukkan punggung tangan kananku yang pori-porinya membesar karena merinding dengar omongan Pak Restu.

Ia memperhatikannya sejenak, lalu meraih tangan kananku dengan lembut. Menyelipkan tangan kirinya di bawah tangan milikku, jari jemarinya dikaitkan dengan jari tanganku. Aku bengong lihat kelakuannya yang tiba-tiba horor, bikin bergetar sampai ke ulu hati. Jantungku mulai gak normal. Fix.

Lampu lalu lintas sudah berganti hijau, Pak Restu belum melepaskan kaitan tangannya yang menggenggam tanganku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lampu lalu lintas sudah berganti hijau, Pak Restu belum melepaskan kaitan tangannya yang menggenggam tanganku. Aku bergantian melihat ke arah tangan yang di genggam olehnya dan ke wajah si Restu ibu yang tetap fokus dengan jalan, adem banget lihatnya. Ini tangannya kok waktu aku salaman di kampus gak seberasa ini? Hangat, terus halus banget.

Fokus, Renata! Fokus. Pikiran kenapa jadi lari ke mana-mana sih?

"Saya tahu, di sana pasti gak akan gampang ketemu sinyal." Pak Restu tiba-tiba mengeluarkan suara, aku kira dia gak bakal ngomong apa-apa. Padahal aku udah mangap siap-siap mau ngomong duluan, "saya tunggu-tunggu kabar dari kamu sepulang dari sana, tapi ternyata telepon saya aja gak kamu jawab."

Ini tangan kenapa betah banget sih? Lepasin kek. Kenapa juga tangan aku gak mau lepas sendiri?! Bikin deg-deg serr, kampret banget.

"Maaf, kalau saya lancang. Saya tahu kamu kaget, karena sikap saya." lanjutnya.

IMPOSSIBLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang