3. Angga

179 16 14
                                    

Entah kau sejauh langit atau sedekat langit-langit, bagiku kau tetaplah bintang yang kupuja setengah mati.

-Fiersa Besari-

***

Sejujurnya gue punya banyak teman.

Banyak banget, kalau lo mau tahu. Semua orang rebutan buat jadi teman gue, meski gue nggak tahu itu karena mereka tulus atau karena faktor lain. Cewek-cewek biasanya pengin temenan sama gue karena mereka mau dekat dengan Rendi, dan cowok-cowok biasanya cuma pengin mencoba buat menaklukan gue, karena selama dua setengah tahun sekolah di sini, gue nggak pernah pacaran.

Intinya, cuma ada beberapa orang yang tulus mau berteman sama gue, sampai saat ini. Gue nggak tahu mereka terlalu jago berpura-pura atau emang nggak punya niat jahat. Gue juga nggak terlalu berharap sama mereka, karena gue sudah terlalu sering dikhianati hingga gue lupa caranya percaya sama orang lain. Lagian, di hidup gue, mereka cuma teman, orang-orang yang datang dan pergi sesuai musim dan keperluan.

Menilik rekor pertemanan gue yang panjang, nggak heran dong kalau selalu ada orang yang bersedia buat menemani gue kapan pun. Nah, jadi pertanyaannya, kenapa gue malah menyendiri di pojok perpustakaan macam kutu buku begini?

Secara teknis, gue nggak sendiri. Ada cowok berkacamata di samping gue yang lagi menunduk sedalam-dalamnya di atas buku yang lebih tebal dari gabungan semua buku yang gue punya. Dia sudah ada di sini sejak tadi, tapi kelihatan nggak keberatan walau gue numpang di area teritorial dia.

Ya iyalah, gimana mau keberatan, dia aja kayaknya nggak sadar gue ada disini.

Gue menghembuskan napas kasar. Seharusnya gue sudah terbiasa 'kan melihat Rendi bareng cewek, mengingat daftar mantannya yang panjang. Tapi melihat dia bareng temen gue, rasa sakit gue benar-benar nggak ketulungan. Jadi gue mengungsi ke perpustakaan, yang merupakan tempat yang tepat buat menenangkan pikiran.

Gue melirik jam di tangan kiri gue, mendesah begitu sadar waktu istirahat tinggal sepuluh menit lagi. Habis ini, gue jelas harus ke kelas--kalau nggak mau dianggap bolos dan menodai daftar hadir gue yang bersih--dan sialnya, gue sekelas sama Sheina. Gue bahkan berteman sama dia. Dia bakal sibuk bercerita gimana serunya makan siang berdua bareng Rendi di kantin, yang sumpah demi apapun nggak pengin gue dengar.

Gue nggak peduli, titik.

Cowok di samping gue tiba-tiba mengangkat kepalanya, dan gue terperangah. Bukan, bukan karena dia ganteng dan matanya yang tajam, tapi karena akhirnya gue tahu siapa dia.

Namanya Angga, seisi sekolah juga tahu. Dan parahnya, dia itu ketua OSIS. Gue punya alergi atau semacamnya sama pengurus OSIS. Mungkin karena rok gue yang 5 cm terlalu pendek dari aturan, gelang imut warna-warni yang gue pakai, atau mungkin karena rambut gue dicat cokelat, yang bakal semakin kelihatan kalau gue ada di tempat terang.

Dan perpustakaan ini sungguh terang-benderang.

Sekolah gue emang swasta, tapi punya aturan yang cukup ketat buat murid-muridnya. Kami ditekankan untuk menjadi disiplin dan taat peraturan, tanpa pengecualian.

Serius, nih, selama ini gue selalu lolos karena pengurus OSIS yang cemen-cemen itu nggak pernah berani sama gue. Alasannya karena gue teman Rendi, tentu. Tapi si Angga ini jelas nggak akan takut sama Rendi, secara 'kan dia ketua OSIS dan otomatis semua guru siap berdiri di belakang dia karena reputasinya yang terlampau bersih. Gue, yang lebih sering bikin guru stres karena lamban dalam berpikir ditambah pelanggaran-pelanggaran ini sebagai barang bukti, jelas nggak akan menang.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang