30. Sendiri

101 14 9
                                    

UKS kosong, kecuali seorang anggota PMR yang sejak pergantian pelajaran pertama tadi sibuk merapikan lemari obat dan P3K, meski sebenarnya tidak kacau-kacau banget. Dia hanya mencoba menyibukkan dirinya sendiri, sesekali melongokkan kepala ke luar seolah berharap seseorang akan memasuki UKS juga.

Renata mendengus, memejamkan mata di ranjang tempatnya berbaring. Pipinya masih berdenyut menyakitkan, dan setiap helaan napasnya terasa sakit seakan rusuknya patah dan menusuk jantungnya sendiri. Oke, itu terdengar menjijikkan bahkan untuk ukuran seseorang yang melankolis seperti dia.

"Gia?" panggil Renata, bosan dengan keheningan yang menyesakkan di antara mereka, meski menggerakkan bibir pun malah memperparah sakitnya. Ah, sialan banget sih emang. Dia tidak pernah ditampar, dan sekalinya mengalami hal itu, dia harus terjebak di UKS bersama orang yang jelas-jelas tidak menyukainya.

Gia tersentak kecil, sebelum memutar badannya pelan-pelan ke arah Renata yang sekarang sedang menyandarkan punggungnya di dinding. "Eh, iya Kak?"

"Lo nggak perlu ada di sini kalo lo nggak nyaman sama gue," tembak Renata langsung, membuat Gia gelagapan dan dengan kikuk menjatuhkan Betadine hingga cairannya membasahi lantai, membuat Renata melompat dari tempat tidur karena refleks.

Gia mencari lap di rak dengan tergesa-gesa, membuat barang-barang yang tadi sudah dia rapikan malah berjatuhan di lantai dan membuatnya lebih berantakan lagi. Renata menghela napas melihat Gia yang bahkan terlihat gugup hanya karena kehadirannya. Sikapnya yang lugu itu membuatnya teringat Angela, dan dia menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran itu keluar dari pikirannya.

Gia akhirnya berhasil meraih lap dan membersihkan kekacauannnya dalam diam, meski punggungnya terlihat begitu tegang dan membuat Renata mendengus kesal. Setelah selesai, dia berdiri, dan memandang ke arah mana saja selain pada Renata yang kini duduk di pinggir ranjang dengan kaki terjuntai.

"Kakak yakin nggak mau dikompres?" tanya Gia, meski dengan takut-takut. Dia akhirnya mendongak untuk menatap Renata yang kini sedang menyandarkan pinggangnya di ranjang UKS.

Renata mengedikkan bahu. "Nggak deh, nanti make up gue rusak," sahutnya santai, meski pipi dan sudut bibirnya menjerit sakit. Lagipula, make up-nya sudah hancur saat dia menangis tadi, menyisakan bayangan gelap bekas eyeliner dan maskara di bawah matanya, yang untungnya sudah dia bersihkan ketika dia tiba di sini tadi.

Gia terlihat ingin berkomentar, dan Renata mengangkat alis untuk menantangnya, membuat gadis itu menutup mulut lagi dan terdiam. "Tapi itu udah mulai memar," katanya, memberanikan diri.

"Dengan memar ini pun, gue tetap cantik kok," Renata mengedipkan sebelah matanya, berusaha terlihat sesantai mungkin. Gia pasti memiliki sesuatu yang spesial dengan Jo, dan Renata penasaran ada apa di antara mereka. Jo selalu menjadi orang yang tertutup, yang menertawakan hidupnya sendiri seperti komedi tapi tidak membiarkan siapapun memasukinya lebih jauh. Sampai sekarang, Renata bahkan tidak tahu di mana rumah cowok itu dan apakah dia memiliki saudara atau tidak.

Yah, mau bagaimana lagi, Renata memang teman yang buruk.

Renata memperhatikan Gia sekali lagi. "Lo suka Jo kan ya?" tembaknya langsung, membuat Gia terperangah dan gelagapan. Dari reaksinya, sepertinya dugaan Renata benar. Dan melihat bagaimana sikap Jo padanya, sepertinya perasaan itu berbalas. Tapi kenapa mereka malah terlihat sejauh itu saat bertemu di koridor tempo hari?

"Nggak, Kak, aku..."

Renata mendengus. "Kalo lo suka dia, kejar. Jangan biarin dia pergi. Kesempatan kedua itu cuma omong kosong," tandasnya, sebelum menarik tirai untuk mengelilingi ranjangnya, dan kembali berbaring disana dengan rasa sakit yang baru di hatinya.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang