16. Bersama Arsen

152 12 7
                                    


Nggak ada satu pun hal yang bisa dinikmati dari pesta ini.

Gue dan Rendi mengambil salah satu meja khusus keluarga. Gue nggak menyapa keluarga gue dari pihak Papi yang lain, karena mereka juga nggak menyapa gue duluan. Dulu Papi sama Mami menikah tanpa restu, jadi hubungan mereka berdua dengan keluarganya masing-masing cukup renggang, apalagi gue. Mereka mungkin sudah merasa nggak punya ikatan dengan gue setelah perceraian itu terjadi.

Gue belum menyentuh makanannya sedikit pun, dan Rendi juga sama. Gue terlalu sibuk memperhatikan Angela--bagaimana cara dia berjalan yang jauh dari kesan anggun dan cenderung kekanakkan, bagaimana rambutnya bergerak setiap kali dia berlari, dan bagaimana dia tersenyum lebar saat berbicara dengan para tamu.

Seakan gue masih butuh alasan tambahan buat membenci dia, gue menemukan Angga di sana. Gue bahkan sampai mengucek mata gue berkali-kali buat memastikan kalau itu memang dia. Dan memang benar. Cowok yang sedang berbicara dengannya di sana hingga membuat gadis sok polos itu tersipu adalah Angga yang sama dengan Angga yang mengatai gue bego di perpustakaan.

Angela mungkin mempunyai hubungan khusus dengan Angga, dan itu bukan hal yang akan gue pedulikan seandainya saja gue nggak menyimpan dendam kesumat dengan ketua OSIS berengsek itu. Hubungannya dengan Angga menambah panjang daftar alasan kebencian gue sama dia dan gue sudah menyeringai tanpa sadar.

"Lo sadar nggak sih kalau lo itu menyeramkan?"

Gue memutar leher ke arah Rendi, yang sedang memperhatikan gue dengan tangan terlipat di bawah dada. Alisnya terangkat sementara punggungnya menempel di sandaran kursi. "Hm?"

Dia berdecak sebal. "Kacangin aja gue terus."

"Apaan sih?"

"Lo tega banget sih, Na. Gue dateng ke sini buat ngenterin lo--"

"Bukannya buat makanan gratis, ya?"

"--Iya, itu juga. Tapi alasan utama gue tetep lo. Dan sekarang lo malah bersikap seakan gue nggak ada. Gue tuh nggak bisa diginiin, Na."

Iya, karena lo terbiasa dipuja, dikelilingi oleh orang yang mencintai lo, nggak kayak gue yang selalu berakhir sendirian.

Ada sesuatu tentang Rendi yang membuatnya mudah untuk dicintai. Dia nggak pernah berpura-pura. Dia akan melakukan hal yang memang pengin dia lakukan, bukan untuk memancing reaksi dari orang lain. Dia akan memeluk gue kalau dia merasa gue butuh pelukan, di mana pun, nggak peduli apa yang akan orang pikirkan tentang kami atau seberapa banyak norma yang kami langgar.

Gue butuh dia buat menetralisir kemunafikan dalam diri gue.

Gue tahu Rendi cuma bercanda, tapi gue nggak bisa menahan diri buat nggak membalas. "Dan lo mau gue perlakukan kayak apa?"

"Kayak raja. Tapi lo harus jadi dayangnya."

Gue hampir mendaratkan jitakan di kepalanya jika saja seseorang nggak berdeham di belakang dia. Gue sempat mengira itu Papi, karena gue nggak terlalu fokus sama lingkungan sekitar terutama kalau Rendi ada di dekat gue. Tapi setelah mengangkat kepala, gue hampir tersedak karena ternyata Arsen yang sedang tersenyum ke arah gue di sana.

"Na, Ren," sapanya dengan kedua tangan yang terbenam dalam saku celana. Dia hanya mengenakan celana kain dan kemeja krem tanpa jas. Dia memang bukan tipe orang yang suka berpakaian formal. Melihatnya memakai kemeja saja sudah dapat dikategorikan sebagai kejadian langka.

Rendi--yang sepertinya sudah mengetahui kehadiran Arsen entah dari suara cowok itu atau dari reaksi gue--langsung berdiri dan melayangkan tatapan jengah ke arah gue. "Gue mau ngerokok di luar."

Gue bangkit secara refleks buat mencegahnya, tapi Arsen menahan tangan gue dan langsung duduk di kursi yang diduduki Rendi tadi. Ada perasaan nggak nyaman begitu gue duduk berdua dengan cowok selain Rendi, yang secara ironis menyadarkan gue bahwa gue nggak pernah dekat dengan cowok mana pun belakangan ini.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang