34. "Now You See Me"

161 10 15
                                    

Rendi memutuskan untuk mampir, meski Renata tidak menawarinya. Lagipula, oh yang benar saja, sejak kapan dia butuh izin Renata buat berada di rumah itu? Rumah itu praktis sudah menjadi rumah keduanya, dan tidak ada yang bisa menghalangi keinginannya soal itu. Dia kan hanya mampir, bukan hendak membakarnya hingga jadi abu atau semacamnya.

"Rasanya kayak udah seabad gue nggak duduk di sini," Rendi mengenyakkan diri di sofa ruang tengah, merentangkan tangan ke kiri dan kanan seolah mengklaim kepemilikan atas benda itu. "Hah, sofa ini pasti kangen gue."

Renata—yang duduk lesehan di kaki Rendi sambil memilih film yang akan mereka tonton—mendengus sebal. "Bisa gue pastiin, nggak ada satu pun hal di rumah ini yang kangen sama lo."

Rendi menyeringai. "Tapi pemiliknya pasti kangen kan ya?"

"Mama?"

Rendi berdecak sambil mengusap kepala Renata yang bersandar di lutut cowok itu. "Emang dasar sialan."

"Heh, nggak boleh ngomong kasar disini," tegur Renata main-main. Rasanya menyenangkan, dia menyadari. Berada disini, bersama Rendi, terasa seperti yang seharusnya. Seakan mereka memang tercipta untuk momen ini, di tempat ini, di tangan satu sama lain. Tapi kesadaran menyentaknya perlahan, membuat tangannya berhenti dari kegiatan memilah DVD film yang berantakan di bawah meja. "Ngomong-ngomong, gimana Sheina?"

Nama gadis itu membuat rasa sakit semu berdenyut di pipi Renata, tapi dia memilih untuk mengabaikannya. Toh, Rendi tidak tahu, dan Renata berharap Jo tidak nekat memberitahukan hal itu pada Rendi.

Oh, ayolah. Sudah cukup selama ini dia menjadi cewek manja yang selalu membutuhkan perlindungan dari Rendi. Kali ini, dia akan berdiri untuk dirinya sendiri.

Rendi mengedikkan bahu tak acuh sambil memainkan rambut Renata yang terlalu halus di tangannya. "Udah putus," katanya tanpa emosi, hingga Renata tidak dapat menebak bagaimana perasaan Rendi saat ini. "Gue sama dia kayaknya baru sadar kalo nggak ada yang bener dari hubungan ini."

Renata menaikkan sebelah alis, meski Rendi tidak dapat melihatnya karena posisi duduknya yang membelakangi cowok itu. "Lo sama dia?"

"Fine, gue doang," kata Rendi akhirnya. Tangannya masih bermain-main di rambut Renata, lalu menariknya pelan hingga gadis itu bersandar di lututnya. "Rambut lo bagus deh Na, pake sampo apaan?"

Bingung karena perubahan topik yang tiba-tiba, Renata mengerjap beberapa kali sebelum bisa menangkap dengan benar pertanyaan Rendi. "Sampo yang waktu itu lo beliin kok," sahutnya, lalu sadar permainan Rendi yang menggiring mereka keluar dari topik yang seharusnya. "Lo nggak mau ngomongin tentang Sheina, ya?"

"Jangan salah paham," kata Rendi, tahu bahwa Renata akan berpikira bhwa pembicaraan tentang Sheina akan menyakitinya. "Gue bukannya nggak mau, tapi emang nggak ada yang bisa diomongin tentang itu," dia diam sebentar, menimbang-nimbang bagaimana cara untuk membuat Renata dapat memahami poinnya. "Gue nggak suka dia, nggak dengan cara yang gue usahain. Harusnya gue tahu kalo ini gaakan berhasil, dan yah, gitu deh."

"Hei," Renata melirik Rendi dari balik pundaknya, lalu meletakkan sebelah tangannya di lutut cowok itu untuk membuatnya nyaman. Dia mungkin tidak suka Sheina, tapi dia juga tidak suka bila Rendi harus kehilangan. "Gue nyesel dengernya."

"Hah?" Rendi menatap Renata seakan cewek itu baru menumbuhkan sepatu bot dari kepalanya. "Nggak ada nyesel-nyeselan, oke? Lo ngerti maksud gue nggak sih?" Dia terlihat frustrasi, seakan bimbang antara harus mengacak rambut Renata atau menenggelamkannya di kolam renang. "Gue nggak suka dia, Na, astaga. Gimana lagi caranya biar lo bisa ngerti kalo gue nggak pernah suka dia?"

"Lo... nggak lagi patah hati?"

"Demi apapun, lo masih harus nanya kayak gitu?" Rendi menggeram lewat sela-sela giginya yang terkatup rapat, membuat Renata nyengir dan mengedikkan bahu seolah gadis itu tidak melakukan kesalahan apapun. "Gue nggak suka dia, jadi gue nggak mungkin patah hati."

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang