25. Kantin

105 9 14
                                    


"Na," panggil Sheina ketika bel istirahat berbunyi dan guru mereka sudah bergegas hingga lenyap dari kelas bahkan sebelum bunyi bel berhenti. Beberapa anak cepat-cepat pergi ke kantin, tapi sebagian yang lain malah menenggelamkan kepala di meja mereka dan tertidur cepat-cepat agar memiliki waktu sebelum istirahat berakhir.

Renata—yang sedang membereskan alat tulisnya ke dalam tas hingga tidak ada yang tersisa di atas mejanya—mendengus tanpa melihat Sheina. "Kenapa? Udah nggak benci lagi sama gue?"

Sheina terdiam sebentar. "Gue 'kan emang nggak benci sama lo," sahutnya ringan. Itu membuat Renata mengingat tatapan tajam gadis itu kemarin saat Rendi memeluknya di lapangan parkir, dan dia tidak bisa menahan diri hingga kekehan sinis keluar dari mulutnya.

"Gue percaya deh, ya," kata Renata, berusaha tidak memperpanjang masalah ini. Sheina adalah satu-satunya teman dekatnya—dan rasanya dia sudah mengatakan ini berulang kali—dan apapun yang Sheina lakukan, dia mungkin akan memaafkannya. Ini jelas bodoh, karena dia sebenarnya punya banyak teman, meski hampir semua dari mereka hanya teman palsu yang mendekatinya karena dia dekat dengan Rendi.

Oh, ayolah, memangnya siapa yang tidak mau terlindungi oleh ketua geng motor terbesar di sekolah? Orang-orang yang ada di sekeliling Rendi jelas akan memanfaatkan statusnya untuk ketenaran dan kekuasaan, meski Rendi sendiri terlihat tak peduli dengan apa yang dia punya.

Sheina bertepuk riang. "Ayo kita ke kantin!"

Renata menurut saja ketika tangannya diseret dengan keras, tersenyum singkat pada beberapa anak yang menyapanya. Dia tidak meragukan reputasinya di sekolah ini, dan sayang sekali reputasi itu harus sia-sia, pikirnya muram. Dia cantik—bukannya terlalu percaya diri, tapi semua perempuan itu memang cantik dan dia tahu jelas di mana letak kecantikannya. Sayangnya, dia tidak pernah menggunakan hal itu, padahal jika dia mau membuka diri sedikit saja, dia pasti sudah memiliki pacar di mana-mana.

Renata mengernyit jijik. Oke, gagasan itu tidak terdengar baik.

"Hai, Na," Jo tiba-tiba muncul dari balik pintu yang setengah terbuka, mengambil alih tangan Renata dari Sheina dan membuat Sheina terkesiap karena terkejut sebelum gadis itu berpindah ke sisi Rendi. Renata menahan diri agar tidak memperhatikan keduanya dengan iri dan memilih untuk berfokus pada Jo sepenuhnya.

"Hai," jawabnya hati-hati. Matanya melotot sepenuhnya, meneriakkan pertanyaan mengapa mereka masih harus melakukan hal ini setelah Rendi tidak terlihat peduli sama sekali, tapi Jo tampaknya tidak memperhatikan—atau memilih untuk mengabaikannya.

Jo memindahkan tangannya untuk merangkul pundak Renata yang terlihat rapuh di bawah tangannya. "Ke kantin, yuk."

"Emang biasanya kita ke kantin, kan?"

Jo menyeringai. "Gue suka deh waktu lo pake kata kita buat gambarin lo sama gue."

Paris tersedak napasnya sendiri sedangkan Bima dan Al melongo tanpa berkedip. Cara Jo mengatakannya dengan keras seakan menekankan kepemilikan—meski tidak secara langsung—dan rasanya cukup asing karena Jo tidak pernah berbicara pada Renata dengan cara yang seperti itu. Renata sendiri menganga dan sedikit terguncang, kehilangan fokus sebelum Jo menggoyangkan pundaknya dengan gerakan lembut dan penuh perhatian.

Astaga, Renata mengerang dalam hati. Jo ini memang tipe playboy super playboy. Bahkan ketika mereka hanya bersandiwara, Jo bisa terlihat sangat tulus sampai-sampai jika Renata tidak mengenalnya, dia pasti berpikir jika Jo benar-benar menyukainya.

"Lo nggak salah?!" seru Al melengking. "Itu Rena lho, Jo, mau diembat juga?"

"Iya," kata Jo tenang, tapi matanya menunduk dan berpusat di mata Renata, dengan tatapan berbinar yang membuat Renata mengangkat alisnya tinggi-tinggi karena Jo sepertinya kelewat batas dalam memainkan sandiwara mereka. "Dia Rena. Cantik 'kan?"

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang