Happy reading😘💞
****
"Lo sering diraba-raba sama gengnya Rendi, Na?"
Gue tersedak, lalu kelabakan menggapai es jeruk yang sebenarnya ada tepat di samping gue. Minuman itu nggak terlalu mempan, karena gue tetap aja batuk-batuk sampai tenggorokan dan hidung gue perih. Mi ayam pedas yang gue makan juga nggak membantu, karena rasa pedasnya terasa membakar tenggorokan gue dari dalam.
Apa kata Sheina tadi?
Sheina mengusap-usap pundak gue, yang membuatnya harus mencondongkan tubuh melewati meja. Dia terlihat khawatir, tapi gue nggak tahu itu benar atau cuma pura-pura. "Hati-hati dong makannya, Na."
Hati-hati dong ngomongnya, bego.
Setelah gue berhenti batuk dan hanya menyisakan sensasi panas di dada gue, gue menatap Sheina sambil meletakkan es jeruk gue di meja. Dia masih dengan wajah polosnya, dan jujur saja, susah menebak isi kepalanya dengan wajah selugu itu.
Sejauh yang gue tahu, Sheina itu emang innocent, tipe orang yang selalu blak-blakan kalau ngomong dan nggak pernah mikir dulu. Dia emang menyebalkan, tapi gue lebih suka sama orang kayak dia dari pada orang munafik yang sok suci. Sayangnya, kadang-kadang dia emang kelewatan.
"Apa kata lo tadi?" Gue mencondongkan badan ke arahnya sampai perut gue menempel di meja. Dia nggak terlihat bersalah sama sekali, seakan dia baru saja mengatakan bahwa gelang yang gue pakai nggak cocok sama kaus kaki gue hari ini.
"Orang bilang lo sering diraba-raba sama gengnya Rendi. Lo 'kan satu-satunya cewek di geng mereka."
"Pertama, gue bukan anggota geng mereka," gue mendesis. "Kedua, semua hal yang lo omongin itu salah."
Sesuatu dalam dada gue meletup-letup. Ya ampun, bagaimana mungkin mereka bisa mengambil kesimpulan kayak gitu? Gue bahkan nggak pernah berada dalam situasi intim atau mojok dengan cowok mana pun--kecuali Rendi, dan itu juga dalam konteks yang berbeda dengan yang mereka pikirkan.
Gue tahu ini salah gue sendiri. Dengan rok gue yang sedikit lebih pendek dari aturan, ditambah gue yang lebih sering bergaul bareng cowok-cowok jelas menimbulkan persepsi yang salah buat mereka. Gue nggak terlalu peduli sama orang-orang itu, sebenarnya, tapi gue peduli dengan apa yang dipikirkan teman gue tentang gue.
Sheina memasang ekspresi prihatin yang membuat gue kesal setengah mati. "Kalau boleh gue kasih saran, nih, lo jangan deket-deket sama banyak cowok. Cukup satu aja. Nggak baik, Na, dan nggak semua cowok itu bisa tanggung jawab."
Gue melotot sejadi-jadinya. Sheina baru saja menuduh gue sudah tidur dengan teman-teman Rendi, begitu? Serendah itukah gue, bahkan di mata teman gue sendiri?
Oh, maaf, kayaknya dia bukan teman gue lagi.
"Gue nggak salah denger nih, Shein?" Gue mendorong mangkuk mi ayam gue menjauh, karena nafsu makan gue sudah hilang seketika. Walau pun gue lapar setengah mati dan bekal yang Rendi bikinin buat gue belum gue sentuh, gue nggak bisa makan dengan keadaan emosi kayak gini. "Lo baru aja nuduh gue jalang, gitu?"
"Eh, bukan gitu," dia gelagapan, tapi gue sudah nggak punya simpati sedikit pun buat dia. "Tapi orang-orang rame ngomongin lo. Gue nggak bisa liat lo digituin."
"Gue bakal percaya sama lo kalau aja gue bodo." Dengan itu, gue berdiri dan berbalik buat ke luat dari kantin. Sheina memanggil-manggil nama gue, tapi gue nggak peduli. Cepat atau lambat, semua orang pasti bakal menunjukkan wajah aslinya, dan Sheina juga begitu. Gue bersyukur karena seenggaknya, gue belum terlalu percaya sama dia.
Di pintu kantin, gue berpapasan dengan Rendi dan keempat curutnya. Gue eneg lihat mereka, gue eneg lihat semua orang, gue eneg lihat diri gue sendiri.

KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Fiksi RemajaIridescent; Sebab permainan warna bisa membuatmu buta. Spin-off dari Waiting In The Dark *** Gue adalah cewek yang ada di sekitar lo, yang namanya seringkali lo sisipkan dalam bisikan-bisikan bernada kebencian. Gue adalah cewek yang itu, yang memaka...