Pagi ini tenang.
Terlalu tenang, sampai Renata mengernyit ketika memeriksa ponselnya dan tidak mendapati satu pun panggilan dari Mami. Terlalu tenang, sampai Renata mendesah frustrasi ketika Jo tidak muncul juga hingga dia harus naik taksi ke sekolah.
Ini bukan jenis ketenangan yang menyenangkan. Ini sesuatu yang orang-orang sebut sebagai ketenangan sebelum badai. Sepanjang perjalanan ke sekolah, jantung Renata terus-terusan mencelos, seperti sedang naik bus melewati jalan yang cembung. Tapi dia berada di dalam taksi, dan dia sudah mengenal jalan ini dengan sangat baik hingga dia yakin jika bukan permukaan jalan yang membuat perasaannya tidak enak seperti ini.
Ketika taksi yang ditumpanginya berhenti tepat di depan gerbang sekolah, Renata tidak bisa menahan diri untuk tidak mengumpat. "Sialan."
"Kenapa, Mbak?" tanya sopir taksi itu ketika melirik wajah masam Renata dari spion.
Menyadari kesalahannya, Renata mengulas senyum kaku yang pasti terlihat mengerikan. "Nggak apa-apa, Pak," katanya, lalu buru-buru membayar argo sebelum menyelinap keluar dan tanpa sadar menutup pintu keras-keras.
Renata sudah berjingkat-jingkat dan bersembunyi di antara kerumunan anak-anak di gerbang sekolah ketika orang yang dia hindari meneriakkan namanya keras-keras, secara otomatis membelah kerumunan yang melindungi Renata hingga Renata berjengit ngeri.
Ya ampun, desahnya, tepat sebelum kakinya berbalik untuk menghampiri Papi yang berdiri dengan gagah di samping mobilnya.
Langkahnya terasa berat, tapi Renata menahan godaan untuk berjalan dengan membungkuk karena beban mental di punggungnya. Di sanalah Papi berdiri, rapi dalam setelannya seperti biasa. Renata tidak bisa tidak memperhatikan bagaimana lingkaran gelap membayang di bawah mata Papi, dan sudut matanya turun, menampakkan ekspresi lelah yang anehnya terasa familiar.
"Pi," sapa Renata, separuh karena tuntutan kesopanan, separuhnya lagi karena dia memang benar-benar kangen berbicara dengan ayahnya.
Rasanya sudah lama sekali sejak mereka memiliki momen yang layak antara ayah dan anak. Ada bagian kecil dari diri Renata yang ingin melemparkan diri ke pelukan ayahnya, tapi di sanalah dia, berdiri bergeming dengan kaki membatu.
Bagaimana jika ternyata Papi tidak mau lagi memeluknya? Bagaimana jika pelukannya tidak lagi sama, dan hanya sebatas formalitas saja? Bagaimana jika semuanya telah berubah, lebih dari yang dia sadari?
Papi mengepalkan tangan erat-erat di samping tubuhnya. Renata menggigit bibir, begitu sadar jika mereka memikirkan hal yang sama, tapi keadaan tak lagi sama. Siapa yang bilang bahwa tidak ada yang berubah? Ha, omong kosong. Bagaimana pun, semuanya tak lagi sama. Dengan begini, untuk Renata, Papi sudah meninggalkannya. Papi sudah memilih pergi, bahkan ketika Renata dan Mami masih bertahan untuknya.
"Kamu baru datang?" tanya Papi, kedua tangannya terbenam di saku celana, dan ekspresinya memberitahu Renata bahwa dia juga sama tidak nyamannya. Rasanya aneh, berdiri berhadapan disini dengan atmosfer canggung yang membuat Renata memilih untuk tenggelam di danau saja. "Bukannya kelas kamu dimulai 15 menit lagi, ya?"
Renata hampir saja mengatakan, "Sejak kapan Papi peduli?" ketika dia sadar bahwa itu terdengar tidak sopan bahkan untuk standarnya. Jadi alih-alih menambah daftar sikap durhakanya, Renata memilih untuk mengedikkan bahu, berusaha terlihat tak acuh. "Kenapa Papi kesini?"
"Rena...."
"Kalau Papi mau ngomongin tentang pesta barbeque itu, percuma," sela Renata, sebelah tangannya terkibas di udara dengan sikap defensif. "Aku gak akan datang."
"Rena," panggil Papi, suaranya terdengar frustrasi, dan dia terdengar tidak yakin apa yang harus dia katakan sebenarnya. "Kamu tetap anak kesayangan Papi. Rumah itu tetap rumah kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen FictionIridescent; Sebab permainan warna bisa membuatmu buta. Spin-off dari Waiting In The Dark *** Gue adalah cewek yang ada di sekitar lo, yang namanya seringkali lo sisipkan dalam bisikan-bisikan bernada kebencian. Gue adalah cewek yang itu, yang memaka...