31. Konfrontasi

89 14 7
                                    

Rendi baru saja keluar kelas untuk menyusul teman-temannya yang lain ke kantin—meski dia tidak yakin bahwa Jo benar-benar akan ke kantin—ketika Sheina muncul di ambang pintu kelasnya dengan raut wajah yang membuat Rendi menghela napas.

Pasti ada yang tidak beres, gerutu Rendi, menyadari bahwa dia tidak bisa menghindari Sheina lagi. Tidak ketika gadis itu sedang menatapnya dengan tatapan separuh murka dan separuh patah hati, dan sebrengsek-brengseknya Rendi, dia tetap tidak bisa membiarkan seorang gadis menangis, di depan umum, apalagi karena dia.

Jadi tanpa mengatakan apapun, dia menarik tangan Sheina—yang menurut saja ketika setengah diseret ke samping kelas Rendi yang cukup sepi karena jarang dilewati oleh orang-orang. Rendi tahu, apapun yang akan dibicarakan oleh Sheina saat ini, pasti bukan hal yang mau dia bahas di depan banyak orang.

"So?" tuntut Rendi ketika Sheina hanya mendongak menatapnya selama beberapa detik. Keheningan ini menyesakkan dan terasa tidak nyaman, jadi Rendi menyandarkan punggung ke dinding untuk menunjukkan gesturnya yang penuh kendali, sementara kedua tangannya terbenam di saku celana.

Sheina barangkali sedang merangkai kata, atau mengumpulkan tekad, atau mungkin memunguti kepingan hatinya yang berantakan. Rendi memalingkan muka, tidak mau melihat bagaimana air mata siap mengancam turun dari pelupuk mata gadis itu. Lagipula, dari awal dia sudah memperingatkan. Dari awal, mereka tahu bahwa hubungan ini hanya akan menyakiti mereka semakin dalam.

Dari awal, Sheina harusnya sadar di mana posisinya.

"Lo peluk dia tadi," Sheina memulai. Ada getaran di jarinya yang coba dia sembunyikan mati-matian. "Di depan banyak orang. Ren, liat gue," tambah Sheina, setengah memohon ketika Rendi masih bersikeras memalingkan muka. "Rendi!"

"Kenapa?" balas Rendi akhirnya, mengalah dengan menatap mata Sheina yang masih berkaca-kaca. "Dari awal, lo emang udah tau kan?"

"Ren!" Sheina berdecak frustrasi. "Gue pacar lo, lo nggak bisa ngehargain gue dikit aja?"

Rendi mendengus, mendongakkan kepala ke arah matahari yang bersinar terik di atas mereka. Dia selalu suka sinar matahari, yang biasanya dikeluhkan Renata karena rambutnya akan jadi kering. Lain daripada gadis itu, Rendi selalu suka matahari, dan benci ketika senja mulai muncul. Dia benci malam. Dia benci kegelapan. Dan lebih dari apapun, dia benci kenangan tentang Arina.

Sekarang, dia baru menyadari, dia juga benci menghabiskan hari tanpa Renata.

"Lo mungkin pacar gue, Shein," Rendi bergumam dengan nada mengawang, seakan dia sedang memikirkan sesuatu yang jauh dari jangkauan. "Tapi itu nggak bisa menghapus kenyataan kalo Rena adalah sahabat gue."

"Cuma sahabat 'kan?"

Rendi melirik Sheina sebentar. "Mau lo apa sih? Apa yang sebenernya mau lo omongin?"

Sheina mengerjapkan mata, berusaha menahan air mata yang mengancam akan turun. Dia tidak suka pamer tangisan untuk membuat orang lain kasihan. "Gue ..."

Rendi mengangkat alis, menunggu Sheina melanjutkan. Tapi gadis itu berhenti, dan Rendi sadar bahwa dia tidak bisa hanya berdiri dengan gaya angkuh setengah mati sementara dia sadar dia mungkin sudah membuat seorang gadis sakit hati.

Jadi, Rendi mencondongkan badannya ke depan, meletakkan tangannya di kedua pundak Sheina hingga gadis itu mendongak untuk menatapnya dari balik rambutnya yang berkibaran. Mereka sangat dekat, terlampau dekat, namun jantung Rendi bahkan tidak ingin berdebar sedikit lebih cepat.

Sheina menelan ludah dengan susah payah, berusaha menguatkan diri di tempatnya berpijak. "Diantara gue sama Renata," katanya setengah berbisik, separuh takut pada reaksi Rendi, separuhnya lagi takut pada reaksinya apabila mendengar jawaban Rendi, "lo milih siapa?"

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang