19. Jadian

99 8 4
                                    

Kalau saja hari ini nggak ada ulangan Sejarah, gue akan memilih buat bolos dan meratapi kepergian Papi.

Tapi itu nggak mungkin, karena guru Sejarah gue nggak akan memberi ujian susulan dengan alasan yang nggak jelas, apalagi Mami sedang nggak ada disini buat memberikan kesaksian. Meminta tolong pada Papi jelas lebih nggak mungkin, meski Papi nggak berhenti menelepon gue sepanjang malam sampai gue harus mematikan ponsel biar bisa tidur nyenyak, apalagi dengan Rendi yang memaksa buat menginap.

Dan disini lah gue sekarang, menopang dagu dengan mood hancur habis-habisan. Salah satu alasan gue memilih jurusan IPA karena gue malas mempelajari Sejarah dan semua materinya yang bejibun. Mana gue tahu kalau di IPA juga ada Sejarah, dan itu cukup membuat gue uring-uringan saat pertama kali mengetahuinya.

Tapi sekarang gue belajar buat beradaptasi, meski kadang-kadang gue pengin membakar buku yang ada di atas meja ini sampai jadi debu.

Ulangan sudah selesai, dan Sheina tiba-tiba menghampiri gue dengan kabar yang jauh lebih buruk dari ulangan Sejarah. "Na, gue udah jadian lho sama Rendi!"

Kalau kalian mendengar suara retak, itu kayaknya hati gue, deh.

Gue menganga sebentar, merasakan rasa sakit yang perlahan menjalar di dada gue dan gumpalan yang mulai muncul di tenggorokan. Mata gue tiba-tiba berair, membuat gue menunduk dan menyibukkan diri dengan barang-barang di atas meja agar Sheina nggak mengetahui kondisi gue. "Oh, selamat deh." Gue bersyukur suara gue terdengar datar, sesuatu yang mudah buat orang yang pintar berbohong kayak gue.

"Iya!" dia terdengar antusias, dan dengan alasan yang aneh gue pengin menenggelamkannya di dasar samudra. Yah, ini kan bukan salah dia, karena dia nggak tahu perasaan gue. Tapi gue cuma butuh seseorang buat disalahkan, dan itu nggak mungkin Rendi. "Gue traktir di kantin, yuk!"

"Nggak, gue mau makan bareng Jo sama yang lain," tanpa disadari, suara gue terdengar ketus dan gue mendadak pengin melarikan diri dari tempat ini secepatnya.

"Rena," panggilnya, tapi gue nggak mendongak buat melihat matanya. "Jangan terlalu deket sama cowok, lo inget kan kata-kata gue?"

"Waktu lo ngatain gue jalang itu, kan?" tukas gue sinis. Rasa sakit itu kembali begitu melihat ekspresi terkejut di wajahnya yang polos, yang hampir membuatnya terlihat seperti cewek baik-baik kalau saja gue mengabaikan fakta bahwa dia juga suka merisak adik kelas yang songong. "Oh, gue masih inget, kok."

Gue bangkit, dan menggerakkan tangan di udara sebagai kode agar dia nggak menghalangi jalan gue. Gue tahu ini salah, karena ini bukan gue banget. Sehancur apapun gue, gue nggak pernah bersikap kayak gini, apalagi sama orang yang gue anggap teman. Gue nggak pernah menempatkan siapa pun di posisi Sheina, yang saat ini sedang megap-megap nggak percaya seakan gue baru saja menjelma jadi setan tepat di depan matanya.

Yah, kayaknya itu benar juga.

Sheina menahan tangan gue begitu gue akan berjalan ke luar kelas. "Lo kenapa, sih?"

Gue melayangkan tatapan menegur ke tangannya yang sedang mencekal tangan gue. Tapi dia nggak mau kalah, dan kami malah berakhir dengan beradu pelototan di ambang pintu, tapi nggak ada yang berani menegur kami meski gue dan dia jelas menghalangi jalan.

"Lepasin," desis gue dengan gigi terkatup rapat. Dan di saat yang nggak tepat inilah Rendi memilih untuk muncul, lengkap dengan keempat kroninya yang terlihat menguarkan aura arogan yang dominan.

"Oy, kenapa pada melotot gitu?" Itu suara Al, dan gue secara otomatis menatap wajah jahilnya sebelum mengentakkan tangan gue sampai terlepas dari tangan Sheina.

Rendi menahan pundak gue begitu gue akan berjalan ke arah Jo. Dia dan tindikan di telinganya menarik perhatian beberapa orang melintas, tapi dia--yang memang terbiasa menjadi pusat atensi--nggak terlalu memedulikannya. "Kenapa sih, Na?"

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang