17. Mari Pergi

137 12 8
                                    


Sejak dulu, gue tahu Arsen lebih cerdas dari teman seangkatan kami. Dia mungkin nggak terlalu menonjol di bidang akademis, rangkingnya selalu di bawah Rendi, tapi dia tahu semua hal yang nggak diketahui orang.

Arsen pernah tiba-tiba menghampiri gue ketika mood gue hancur banget dan berkata, "Lo mau cerita?"

Saat itu, gue tersentak dan hanya menatapnya dengan tatapan senggol-dikit-bacok. Kami bertiga masih akur saat itu, tapi Rendi sedang latihan futsal dan gue sama Arsen sengaja menunggunya untuk pulang.

Arsen selalu bisa membaca setiap orang, meski dia nggak pernah menyombongkan hal itu. Dia mungkin tahu apa yang diharapkan orang-orang darinya, tapi dia hanya akan memberikan respons sesuai dengan apa yang dia mau. Dia bukan tipe orang yang bergantung pada penilaian orang lain, karena disadari atau nggak semua orang malah bergantung padanya.

Arsen, sebagaimana Rendi, adalah orang yang terlahir untuk menjadi pusat dunia. Orang-orang mengelilingi mereka dengan penuh rasa kagum, tapi mereka mungkin cuma nggak sadar.

Gue menurunkan pundak dan mencopot semua sikap defensif yang gue berikan. "Lo tau dari mana?" tanya gue sungguh-sungguh, karena bukan nggak mungkin kalau orang lain juga tahu apa yang gue rasakan sama Rendi karena sikap gue yang terlalu terang-terangan.

Saat ini, gue baru menyadari kalau gue mungkin berlebihan. Gue memuja Rendi setengah mati, merelakan harga diri dan hati gue dia injak setiap hari, lalu apa yang gue dapat? Nggak ada. Bukan berarti gue mengharapkan timbal balik yang sama dari dia, hanya saja tiga tahun itu adalah waktu yang lebih dari cukup buat menyiksa diri gue sendiri.

Gue mungkin suka sama dia, tapi itu bukan alasan buat merendahkan diri gue sendiri.

Arsen tertawa. Satu hal yang mengejutkan, tawanya masih sama. Begitu ringan dan lepas, seakan nggak ada beban apapun yang menggelayut di pundaknya. "Mata lo mengatakan semuanya, Na. Lo seharusnya liat cara lo menatapnya. Jujur nih, kalau gue jadi Rendi, gue pasti bakal baper tiap hari."

"Tapi lo bukan dia," tambah gue.

"Dan lo nggak akan pernah menatap gue dengan cara yang sama kayak lo menatap dia."

Gue berdecak. "Lo udah punya Zora. Emang lo nggak liat cara dia menatap lo?"

Mata Arsen kembali dipenuhi binar, namun kali ini gue bergidik karena jijik. "Penuh cinta?"

"Najis," gue mengumpat, membuatnya tertawa.

Gue hampir ikut tertawa kalau saja mata gue nggak tertumbuk pada Angela sialan yang sekarang sedang membicarakan sesuatu dengan Papi. Gue nggak tahu apa pembicaraan mereka, tapi senyuman lebar di wajah Papi sudah cukup buat gue.

Kemarin, mimpi terburuk gue adalah mempunyai ibu tiri yang akan merebut semua perhatian Papi dari gue dan menggantikan posisi Mami di rumah kami. Tapi ternyata ada ancaman yang lebih buruk. Papi sepertinya sudah mendapatkan pengganti gue juga, seorang anak baik-baik dan jelas penurut, berbeda dengan gue yang pembangkang.

Gue membangkang buat menarik perhatian Papi, tapi sekarang itu rasanya nggak berarti lagi. Nggak ada yang gue dapatkan selain pelajaran bahwa selamanya gue akan selalu tergantikan. Oleh Angela, oleh Sheina, oleh Zora. Gue ada cuma buat dikenang.

"Bokap lo sayang sama lo," kata Arsen tiba-tiba, mengalihkan pandangan gue dari sesuatu yang hampir membuat mata gue berair.

Gue tersenyum getir. "Gue harap juga begitu."

"Lo nggak tergantikan, Na."

"Tapi faktanya enggak," tukas gue cepat. Gue memainkan jari-jari gue di atas pangkuan, merasa cemas dengan reaksi Arsen tentang keluarga gue yang berantakan. Dia mempunyai keluarga yang sempurna, kayak Rendi, dan tiba-tiba membuat gue merasa jadi orang paling nggak beruntung di dunia.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang