Rendi sedikit membungkukkan punggungnya hingga mata kami sejajar. Gue masih terengah-engah ketika dia menghapus air mata di wajah gue. Astaga, gue bahkan nggak sadar kalau gue sudah nangis. Gue pasti keliatan kacau dan bukan nggak mungkin kalau Rendi akan bertanya-tanya kenapa gue sampai kayak gini cuma karena Angga menghina dia.
Cuma? Sialan. Penghinaan itu bukan cuma, dan jelas nggak bisa dimaafkan. Itu mengirimkan gelombang kemarahan baru yang membuat gue mengepalkan tangan kuat-kuat agar tetap berdiri di tempat ini dan bukannya berlari buat menghajar Angga.
Ugh! Si berengsek itu!
"Lo nggak perlu kayak gini," katanya pelan, setelah mengangkat jarinya dari wajah gue. Wajahnya cukup dekat sampai gue bisa melihat matanya dengan lebih jelas. Matanya lain dari kebanyakan, lebih terang dengan lingkaran agak hijau di sekeliling irisnya. Gue pernah menanyakan apakah dia punya darah blasteran atau semacamnya, tapi dia malah tertawa.
Gue mengerjap begitu selesai mencerna kata-katanya. Itu membuat gue tambah marah dan gue mengambil satu langkah mundur, menjauh namun masih dalam jangkauan tangannya. "Dia ngehina lo," desis gue dengan penuh penekanan, "Dan gue harus diam aja? Gila lo!"
"Na--"
"Lagian ngapain sih lo ngelawan dia?!" gue menyela sebelum dia mencoba menenangkan gue dengan semua omong kosongnya. "Lo seharusnya biarin dia nulis nama gue sama Jo, masalah bakal beres disana."
Rendi menghela napas, melangkah maju namun gue mundur lebih jauh. Dia berhenti, menatap gue dalam-dalam seakan gue ini anak kecil yang harus diberikan pemahaman. "Terus gimana kalo itu ditulis di rapor lo? Lo pikir apa yang bakal nyokap lo rasain?"
Itu membuat gue tersentak, karena gue bahkan nggak pernah memikirkan Mami selama berada di ruang OSIS tadi. Sangat memalukan bagaimana Rendi lebih peduli sama Mami dibanding gue sendiri.
"Tapi itu tetap bakal ditulis di rapor gue, entah bareng Jo atau bareng lo," gue bersikeras. "Nggak ada bedanya, Ren."
"Jelas ada," nadanya naik dan gue tahu kalau gue nggak akan menang. Dia tipe orang yang akan memperjuangkan keyakinannya dengan cara apapun. "Nyokap lo percaya sama gue, Na. Dia akan percaya kalo kita jelasin kenyataannya."
"Tapi itu juga bakal ditulis di rapor lo kan, Ren?" Gue menghela napas frustrasi dan tiba-tiba pengin menenggelamkan diri gue sendiri di danau es. Lagian ngapain sih gue sama Jo tadi? Astaga.
Rendi memperlihatkan cengiran tolol yang membuat gue kehilangan kata-kata, karena bagaimana mungkin dia bisa seperti itu ketika keadaannya sekacau ini? "Bisa diatur. Nyokap gue nggak bakal marah."
"Ren!"
"Na!" balas Rendi, membuat gue terdiam karena dia nggak terlihat berada dalam mood yang bagus. Yah, lagipula siapa yang akan memiliki mood bagus kalau baru saja bersitegang dengan orang idiot kayak Angga. "Tenang, oke? Gue bisa beresin semuanya. Gue bisa melindungi lo, Na."
Sampai kapan?
Pertanyaan itu membuat gue memejamkan mata buat menyadarkan diri gue sendiri kalau Rendi nggak bisa selamanya ada di sisi gue. Dia punya dunianya yang lain, yang nggak gue punya karena hidup gue cuma berpusat di dia. Dia punya gengnya, punya keluarganya, punya Sheina, tapi gue nggak punya siapa-siapa. Gue bahkan nggak punya teman.
Untuk pertama kalinya, gue merasa nggak pantas ada di samping dia. Gue cuma gadis tak terlihat yang jatuh cinta sama dia yang bersinar layaknya bintang. Dia pintar, semua orang kenal dia, dan siapa gue sampai berani suka sama dia?
Gue Renata, dan walau pun gue selalu ada di samping dia, gue cuma Renata. Yang dia hubungi kalau dia merasa kesepian, yang selalu ada buat dia berbagi semua mimpi buruknya, yang nggak pernah pergi walau dia selalu melupakan gue ketika dia punya pacar.
Seharusnya gue menyerah. Tapi kenapa nggak bisa?
"Na?" panggilnya, membuat gue membuka mata dan langsung beradu pandang dengan matanya yang menghanyutkan.
"Jangan," bisik gue lirih.
Dia terlihat kebingungan. Ada kerutan kecil di dahinya, dan bukannya langsung melarikan diri, gue malah menyapukan jari disana untuk menghilangkannya. "Apa?"
Gue mundur selangkah, memberi ruang cukup jauh agar gue nggak terpengaruh oleh auranya yang memikat. Dia nggak perlu melakukan apapun buat menarik orang-orang ke arahnya. Dia cuma perlu diam, bernapas seperti biasanya, dan secara otomatis semua perhatian dan simpati akan mengarah padanya. Dia memang semenarik itu.
"Lo nggak bisa selalu melindungi gue," jawab gue parau, tiba-tiba merasa putus asa seakan seseorang baru saja memukul gue secara mental dan membangunkan gue dari dongeng tentang upik abu dan pangeran.
"Gue bisa melindungi lo selamanya," bantahnya.
Gue mengulas senyum getir yang nggak bisa menetralisir rasa sakit di dada gue dan kehampaan yang tiba-tiba menyerang. "Papi juga bilang gitu, tapi sekarang dia pergi."
"Rena..." dia mendesah frustrasi. Tangannya naik untuk memegang bahu gue, tapi gue mundur dari jarak sentuhnya sampai tangannya hanya mencengkeram udara. Rasa tak percaya di wajahnya terlihat begitu menyakitkan dan menimbulkan rasa sakit aneh di dada gue.
Gue menelan ludah begitu merasakan asam di tenggorokan gue. Gue bakal nangis sebentar lagi, dan itu bukan jenis tangisan pelan yang bisa gue sembunyikan. Gue nggak boleh melakukan itu. "Lo bakal pergi, lo bakal nemuin cewek yang bisa mengerti lo seluruhnya, dan lo bakal ninggalin gue."
"Dan itu masih butuh puluhan tahun lagi," balas Rendi, anehnya dengan ketulusan dalam suaranya. Gue nggak pernah suka bagaimana caranya mempermainkan perasaan gue kayak gini. Dia bisa membuat gue kesal dan patah hati, lalu detik berikutnya membuat gue tak berdaya di hadapan perasaan sialan ini. "Gue mau seseorang yang kayak lo, yang bisa menghadapi gue apapun yang terjadi. Yang bisa memahami masa lalu gue tanpa menghakimi. Dan itu nggak akan gampang."
Kenapa harus seseorang yang kayak gue? Kenapa bukan gue?
Gue nggak mengatakan apapun lagi, meski kata-kata Rendi membuat gue senang dan hancur di saat yang bersamaan. Detik itulah gue sadar, kalau gue tetap bertahan di titik ini, nggak ada hal yang bisa gue dapatkan. Nggak akan ada yang berubah antara gue sama Rendi.
Hanya butuh satu detik buat mengambil keputusan sebesar itu.
Gue memutar badan dan berjalan menjauh, mengabaikan panggilan Rendi di belakang sana. Dan dia nggak mengejar gue. Lagi.
****
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Fiksi RemajaIridescent; Sebab permainan warna bisa membuatmu buta. Spin-off dari Waiting In The Dark *** Gue adalah cewek yang ada di sekitar lo, yang namanya seringkali lo sisipkan dalam bisikan-bisikan bernada kebencian. Gue adalah cewek yang itu, yang memaka...