2. Sarapan

215 15 0
                                    

Setelah luka-lukamu reda
Kau lupa aku juga punya rasa
Lalu kau pergi kembali dengannya

Tulus - Langit Abu-abu

****

Sebenarnya, gue lebih dulu berteman sama Arsen dari pada sama Rendi.

Dulu, waktu keluarga gue masih utuh, gue dan Arsen tetanggaan, dan otomatis kami jadi teman karena seumuran. Dia baik, ramah, keren, dan selalu berusaha melindungi gue. Tapi nggak ada rasa lain di antara kami. Gue nggak suka dia dan dia juga nggak suka gue--dalam hal romantis. Kemudian, waktu kita masuk SMP, kita kenal sama Rendi, dan jadi bikin geng bertiga semenjak itu.

Sejak teman-teman sekelas gue sibuk ngomong-ngomong cinta, gue jadi naksir Rendi, tapi nggak berani ngomong. Gue juga nggak bilang sama Arsen, karena gue takut dia malah berusaha mendekatkan gue sama Rendi dan berakhir dengan kehancuran persahabatan kami.

Tapi ketika kita masuk SMA, insiden itu terjadi. Gue dipaksa memilih antara Arsen atau Rendi--yang jelas-jelas susah banget karena mereka mempunyai tempat masing-masing di hidup gue. Saat itu, gue ingat Arsen memberi kode biar gue memilih Rendi, yang cukup masuk akal karena waktu itu Rendi hancur banget, meski nggak sampai bunuh diri. Ya kali dia bunuh diri cuma gara-gara itu. Kalau itu sampai terjadi, gue yakin Arsen bakal mengejar Arina sampai ke neraka.

Karena itu, Arsen pindah ke sekolah yang jadi musuh bebuyutan SMA kami dari dulu. Karena baru kelas 10, dia bahkan sempat dirisak, tapi kemampuan bertarungnya yang nggak bisa diremehkan malah membuat dia diangkat jadi ketua geng motor di sana.

Seandainya gue jadi Arsen, gue pasti bakal merisak balik orang-orang yang sudah meremehkan gue. Tapi dia sama bodohnya kayak ceweknya yang sekarang. Duh, kalau Arsen sampai tahu gue ngomong kayak gini tentang dia dan ceweknya, dia bisa lempar gue ke Samudra Pasifik.

Ada ketukan di pintu kamar gue, secara otomatis membuat gue berhenti menyisir rambut dan berpaling ke arah pintu, cuma buat menemukan Rendi dan cengiran lebarnya saat dia melangkah masuk ke kamar gue. Dia sudah pakai seragam lengkap, ditambah jaket kulit yang membuatnya tambah keren. Seandainya dia nggak pakai tindik di telinga kanannya, dia bakal kelihatan kayak murid biasa yang kebetulan punya penampilan di atas rata-rata.

"Lo udah cantik lho, Na, nggak usah dandan mulu."

"Nggak usah ngurusin hidup gue," gue mencibir. Gue lalu mulai menyisir lagi sebagai bentuk pemberontakan, yang membuat dia berdecak dan melakukan hal paling fatal di pagi hari: mengacak rambut gue! Bisa lo bayangin, gue sudah capek-capek pakai catokan, terus nyisir sampai tangan gue pegal, dan dia malah melakukan itu tanpa punya hati! Berengsek!

"Rendi!" pekik gue nggak terima, yang malah dia balas dengan kekehan nyebelin dan bikin gue pengin dorong dia dari puncak monas. "Lo gila apa gimana, sih?"

Dia nyengir. "Nggak usah cantik-cantik lah, Na, nanti banyak yang suka sama lo."

"Bagus, dong. Kebetulan gue juga lagi pengen pacaran."

"Jangan pacaran sama cowok-cowok bego itu, Na. Nggak bakal ada untungnya, percaya deh."

"Terserah," jawab gue ketus. Gue nggak terlalu suka perlindungan berlebihan kayak gini. Jangan tanya kenapa gue belum punya pacar sampai sekarang. Masalahnya, Rendi selalu menghalangi rencana pendekatan gue sama cowok-cowok di sekolah dan berusaha mengintimidasi setiap cowok yang punya cukup keberanian buat jalan sama gue. Yah, gue tahu dia cuma nggak mau gue pacaran sama orang yang salah, tapi kalau kayak gini terus caranya, gue nggak akan pernah punya pacar.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang