8. Zora dan Vanessa

152 11 6
                                    

Happy reading💞😘

****

Gue memutar langkah ke arah toilet begitu menerima sebaris pesan singkat dari Rendi. Nggak, dia nggak mungkin mengajak gue ketemuan di toilet, karena dia bukan tipe cowok kayak gitu. Gue cuma butuh berada di tempat di mana nggak ada seorang pun yang bisa menemukan gue. Gue butuh sendirian.

Soal Sheina, kayaknya gue bakal ngasih dia kesempatan

Hanya itu. Hanya itu yang dikirimkan Rendi, namun berhasil membuat gue menyendiri dan bertapa di atas dudukan toilet. Gue bersyukur karena semua toilet di sekolah ini bersih dan wangi karena dipel setiap hari.

Dulu, gue pernah takut hantu, dan toilet adalah salah satu tempat yang paling gue hindari. Tapi sejak gue lebih takut patah hati, toilet selalu jadi tempat gue merenung dan menenangkan diri. Gue selalu meyakinkan diri gue sendiri kalau semuanya bakal baik-baik saja, kalau gue harus bernapas dan hidup kayak biasa.

Gue pernah baca kalau salah satu kunci kebahagiaan adalah: jangan berpikir, jangan terobsesi, jangan berharap, jangan membayangkan. Gue cuma harus memiliki keyakinan kalau semua hal bakal menghasilkan yang terbaik.

Tapi nggak akan ada yang terbaik di antara gue dan Rendi, berengsek. Gue terlahir buat selalu ada di sampingnya, tapi bukan sebagai prioritas buat dia. Gue mungkin orang pertama yang dia datangi kalau dia diserang kenangannya sendiri, tapi gue bukan orang yang bakal dia ajak buat melihat bintang bersama. Bukan gue yang akan dia pertimbangkan kalau dia mendapat voucher dinner romantis di restoran.

Gue seharusnya pergi. Gue seharusnya nggak sebodoh ini, memperjuangkan hal yang nggak bisa diperjuangkan. Bertahan buat hal yang nggak bisa dipertahankan. Tapi gue nggak bisa. Gue butuh dia sebagaimana dia butuh gue, bahkan mungkin lebih. Gue butuh dia buat memberi gue harapan. Dia sendiri sama kayak bintang yang pengin gue gapai. Dia menjaga gue buat tetap hidup, tetap terjaga, menjaga gue agar nggak kalah dari rasa putus asa yang seringkali menampar gue habis-habisan.

Gue bisa aja pergi, tapi gue nggak yakin semuanya bakal lebih baik.

Nggak, gue nggak bisa.

Gue lebih siap mendengar curhatannya tentang Arina atau melihatnya dengan cewek lain daripada harus kehilangan dia. Gue nggak bisa membayangkan bagaimana jadinya hidup gue tanpa dia, bagaimana kalau dia nggak lagi membutuhkan gue buat memilihkan baju buat dia, bagaimana kalau gue benar-benar harus menghilang dari hidupnya.

Gue emang masokis, tapi hidup tanpa Rendi terdengar sangat mengerikan.

Ponsel di saku gue bergetar, dan gue tersentak begitu mendapati nama Rendi di sana. Kenapa dia harus menelepon di saat yang nggak tepat, sih?

Kalau gue nggak mengangkatnya, dia pasti panik. Dulu gue pernah hampir diculik sepulang sekolah, dan Rendi menyelamatkan gue tepat ketika gue mulai ditarik masuk ke mobil hitam yang mengerikan. Kalau dia telat sedikit saja, gue nggak tahu apa yang bakal terjadi. Paling untung mereka akan meminta uang tebusan pada Mami, atau paling buruk gue akan berakhir di pasar gelap dalam kategori penjualan manusia atau penjualan organ tubuh.

Layar ponsel gue mati, tanda Rendi memutuskan sambungan telepon kami. Tapi gue tahu dia nggak akan menyerah. Jadi ketika ponsel gue bergetar lagi, gue langsung mengangkatnya tanpa pikir panjang.

Terdengar hembusan napas panjang dari seberang sana. "Na, lo di mana? Sebentar lagi bel masuk, lo harus cepet ke kelas."

Gue mengernyit. "Waktu istirahat berapa menit lagi emangnya?"

"Di hape lo kan ada jam."

"Susah. Jawab aja."

"Delapan menit lagi."

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang