Seumur hidup, gue nggak pernah membayangkan akan duduk di ruang yang gue benci ini, apalagi sama Rendi--karena dia bersikeras mengusir Jo tadi. Rendi dan Angga sempat berantem karena Ketua OSIS itu beranggapan bahwa dia seharusnya menghukum Angga dan Rendi sama sekali nggak dibutuhkan dalam hal ini. Tapi si Julio itu bersikeras, dan di sinilah gue sekarang.
Keparat.
Sebelumnya, gue kira ruang OSIS akan terlihat temaram dan menguarkan aura mistis seperti rumah dukun. Tapi alih-alih menemukan dupa dan bau kemenyan, gue malah tercengang karena ruangan ini jelas lebih bersih dan rapi daripada kamar gue. Catnya berwarna putih, dan ada rak yang penuh dengan berkas di salah satu dinding. Ada bendera OSIS tepat di belakang kursi Angga, dan itu tiba-tiba mengingatkan gue dengan kejadian saat di perpustakaan.
Ya ampun. Sebenarnya, gue bukan pendendam. Tapi cara dia menghina gue benar-benar nggak termaafkan. Gue nggak ngerti kenapa gue mau aja duduk di sini, dengan cowok arogan itu dalam radius kurang dari dua meter.
Angga membuka buku tebal berwarna hitam yang terkenal di seantero sekolahan. Namanya Buku Hitam, sesuai dengan warna sampulnya. Semua nama di dalamnya ditulis dengan tinta merah, dan catatan itu abadi sampai kapan pun. Masalahnya, semua kasus yang masuk ke Buku Hitam akan ditulis di rapor, jadi orangtua kami pasti tahu, dan itu bukan hal yang dapat dibanggakan.
Angga mengangkat kepala dari buku di hadapannya, dan dengan nekat menatap Rendi tepat di mata. Gue kasih tahu, nih, jangan pernah berlagak menantang Rendi kalau lo nggak punya kekuasaan, karena dia itu bukan orang yang bisa lo hadapi tanpa bala bantuan. "Nama lo," katanya tegas.
Rendi--yang saat ini sedang menyandarkan punggung di kursi dengan santainya--hanya mengedikkan bahu tak acuh. "Lo tahu siapa gue."
Angga mungkin terlihat kalem aja, tapi gue bisa melihat rahangnya menegang dan bibirnya yang tiba-tiba tertekan membentuk garis lurus yang menandakan kalau dia kesal. "Nama lo," ulangnya, kali ini dengan penuh penekanan di setiap suku katanya.
Astaga, gue nggak ngerti kenapa mereka meributkan hal sepele kayak gini.
Gue berdeham, membuat mereka berpaling ke arah gue secara bersamaan. "Siapa tau lo lupa, yang punya masalah di sini itu gue, jadi lo nggak perlu nama dia," kata gue dengan datar dan dagu terangkat. Dia bukan siapa-siapa, dan gue nggak boleh memberikan dia hak untuk mempermalukan gue atau sebagainya.
Angga mengedikkan bahu. "Mungkin ini saatnya dia menerima hukuman buat tingkah berandalnya selama ini?"
Gue mengepalkan tangan kuat-kuat untuk menahan agar gue nggak meninjunya sekarang juga. Memangnya siapa dia sampai berani mengatakan hal seperti itu? Apa sih masalah dia sama gue dan Rendi?
"Lo cuma nyari alasan buat menghukumnya, kan?" tukas gue cepat. "Lo dendam apa gimana sih?"
Dia mendengus. "Nyari alasan?" Kali ini, dia terkekeh dengan nada menyebalkan sampai gue bisa mendengar Rendi menggertakkan giginya. "Tanpa perlu nyari pun, gue udah punya banyak alasan. Dia ketua geng motor, dia tawuran sama SMA lain, dia bolos pelajaran, dan itu cukup buat menghukumnya, ngerti?"
"Kalo gitu, kenapa baru sekarang? Kenapa nggak kemarin-kemarin aja waktu dia baru ngelakuin kesalahan?" balas gue cepat dengan nada tinggi. Gue nggak bisa melihat Rendi disudutkan, karena itu menyakiti gue meski Rendi sendiri mungkin nggak peduli.
Tiba-tiba Rendi tertawa dan membuat Angga berpaling ke arahnya dengan tatapan tajam. Gue hampir menegurnya sebelum gue sadar kalau Angga juga perlu direndahkan sesekali.
"Na, sesayang itu ya lo sama gue sampai belain gue mati-matian kayak gini?"
Iya, sesayang itu.
Alih-alih mengucapkan itu, gue malah mendengus dan mencondongkan badan ke arah Angga buat menekankan bahwa gue serius. "Cepet tulis kasus gue. Gue nggak punya banyak waktu."
Angga menatap gue untuk sesaat sebelum berdecak dan membuka Buku Hitam tepat di halaman yang kosong. "Gue akan menulis kalau lo dan Johan melakukan tindakan asusila di lingkungan sekolah."
"Tindakan asusila?" sela Rendi ceoat sebelum gue memprotes Angga.
Angga mengangkat sebelah alisnya. "Lo tau ciuman, kan?" balasnya dengan sarkasme yang kental, seakan ingin menekankan bahwa Rendi mungkin sudah akrab dengan hal semacam itu.
Rendi memutar kursi gue sampai gue berhadapan dengan dia. "Lo ciuman sama Jo?"
"Belum!" bantah gue.
Rendi mengerutkan dahinya dalam-dalam. "Jadi lo mau ciuman sama dia, tapi gagal karena ketua OSIS keburu datang?"
Gue tersentak begitu menyadari kalau gue memilih kata yang salah. "Maksud gue nggak. Serius, Ren, lo lebih percaya sama dia daripada gue?"
Rendi berpaling ke arah Angga, mengabaikan gue dan memasang wajah keras yang selalu gue lihat setiap kali dia merasa marah. Gue juga marah, bukan cuma sama Angga, tapi sama hati gue sendiri yang merasa senang karena menebak kalau Rendi cemburu. Astaga, apa sih yang gue pikirkan. Rendi nggak mungkin merasa cemburu, seenggaknya sama gue.
"Tulis kalo dia ngelakuin pelanggaran itu bareng gue," kata Rendi tegas, dan gue terperangah karena dia menggunakan nada super angkuh seperti itu di depan seorang ketua OSIS.
Angga mengangkat alis dan terlihat terhina. Dia pasti akan meraih kerah Rendi dan menghajarnya habis-habisan kalau nggak ingat tentang nama baiknya sendiri. "Lo nggak bisa nyuruh gue."
"Oh, tentu gue bisa."
Angga terkekeh sinis dan menyilangkan kakinya di atas kaki yang lain, seolah ingin menunjukkan siapa yang palinh berkuasa disini. "Orang kayak lo," desisnya dengan penuh penekanan sementara telunjuknya mengarah tepat ke mata Rendi, "yang membuat dunia ini kayak sampah. Peraturan ada buat mengatur, bukan buat dilanggar."
Ada sesuatu yang terbakar di dada gue begitu Angga selesai dengan ucapannya. Gue nggak tahu itu apa, atau bagaimana cara mengatasinya. Yang gue tahu cuma satu: gue nggak suka Rendi direndahkan, dengan cara apapun.
Rasa panas itu mendorong gue buat berdiri dan mencondongkan badan ke arah Angga yang terlihat terkejut dan nggak memprediksi reaksi gue. Alih-alih memberikan waktu buat dia, gue balik menodongkan telunjuk ke arah otaknya yang perlu perbaikan. "Tulis apapun yang mau lo tulis, gue nggak masalah. Tapi tolong jaga sikap lo, karena lo nggak terlihat berpendidikan sama sekali. Dasar berengsek."
Dengan itu, gue menarik Rendi keluar ruangan sementara jantung gue berdebar dalam kemarahan. Gue nggak bisa melihat Rendi diperlakukan seperti itu. Dia terlalu berharga, dan dia baik, meski nggak semua orang bisa melihat kebaikannya.
Beberapa orang melirik ke arah kami, dan gue sadar sesekali mereka memperhatikan tangan gue yang masih menarik tangan Rendi tanpa mau melepaskannya. Gue nggak peduli. Mereka bisa menyebut gue jalang atau pengkhianat karena mencoba merebut pacar temen gue sendiri, tapi gue nggak akan mendengarkan mereka.
"Na."
Gue dengar Rendi memanggil gue, tapi gue memilih buat nggak menggubrisnya. Gue cuma mau menjauj sejauh-jauhnya dari ruang OSIS itu dan berjanji sama diri gue sendiri buat nggak menginjakkan kaki disana sampai kapan pun. Lebih baik gue dihukum berdiri di lapangan atau diskors sekalian daripada duduk di ruangan yang sama dengan laki-laki yang nggak bisa disebut manusia karena dia nggak punya hati.
"Rena."
Gue nggak berhenti.
"Renata Liana!"
Itu adalah peringatan buat gue. Jadi gue berhenti, meski masih memunggungi Rendi. Napas gue terengah dan gue menyadari kalau gue pasti terlihat kacau banget sekarang.
"Rena," panggil Rendi, kali ini dengan nada lembut yang familiar di telinga gue. "Liat gue."
Perlahan, gue berbalik, meski sambil menundukkan kepala dan membiarkan rambut gue jatuh menutupi wajah. Dia pasti menganggap gue aneh karena gue bukan tipe orang yang meledak-ledak kayak gitu. Gue jarang marah, jarang menekan orang. Gue lebih sering menangis sendirian. Kecuali kalau gue rasa orang itu keterlaluan dan perlu diberi pelajaran.
Rendi mungkin akan menyadari kalau gue berlebihan barusan. Sekalipun marah, gue nggak pernah lepas kendali. Tapi gue tadi bersikap kayak banteng yang merasa terganggu. Astaga, gue bahkan berani menentang ketua OSIS, man.
Sialan. Gimana kalau dia tahu kalau gue suka dia?
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Ficção AdolescenteIridescent; Sebab permainan warna bisa membuatmu buta. Spin-off dari Waiting In The Dark *** Gue adalah cewek yang ada di sekitar lo, yang namanya seringkali lo sisipkan dalam bisikan-bisikan bernada kebencian. Gue adalah cewek yang itu, yang memaka...