23. Pulang?

136 12 0
                                    


Ternyata, pulang dengan Jo tidak terlalu buruk juga, batin Renata. Yah, meski pun cowok itu tidak memberikan jaketnya untuk menutupi kaki Renata—bukan berarti dia berharap juga. Dia memang beberapa kali pulang bersama cowok selain Rendi, tapi itu sudah lama sekali dan dia tidak ingat lagi detilnya.

Ini sebuah kemajuan besar, Renata tidak bisa menahan kebanggaan dalam dirinya meski ada sesuatu yang hilang. Rasanya ganjil dan dia sekuat tenaga menahan sensasi aneh yang menyedihkan itu ketika dia melompat turun dari motor Jo. Dia tidak memakai helm, karena Jo jarang pulang bareng cewek dan mereka jelas tidak menyangka jika sesuatu tak terduga seperti ini terjadi.

"Jadi, nyerah nih?" ledek Jo. Dia masih duduk di atas motornya dan bertumpu pada kedua kakinya di tanah. Sebenarnya, dia ganteng juga, meski bukan ganteng yang berbahaya seperti Rendi atau ganteng yang menenangkan seperti Arsen.

Renata hampir berpura-pura tidak tahu apa yang sedang Jo bicarakan ketika dia ingat bahwa Jo tahu perasaannya pada Rendi. Dia menghela napas panjang—separuh kesal dan separuhnya lagi sedih—sambil membenarkan tatanan rambutnya yang sudah kacau. "Dia punya pacar tahu, gila aja kalo gue masih nebeng," gumamnya sebal. "Nanti gue makin keliatan nggak tau diri dong, ya."

"Bukannya waktu dia pacaran sama anak kelas 11 itu, lo tetap pulang-pergi bareng dia, ya?"

Renata ingin membantah, tapi itu benar. Dan rasanya dia ingin memukul dirinya sendiri ketika mengingat kejadian itu. Kenapa ketika bersama Rendi, dia jadi tidak bisa memikirkan orang lain? Bagaimana perasaannya seandainya dia punya pacar, dan pacarnya malah selalu menjemput dan mengantarkan cewek lain, walau pun itu sahabatnya sendiri? Jika itu terjadi padanya, dia pasti sudah mengamuk dan melabrak cewek sialan itu, tapi mantan Rendi yang itu bahkan selalu menyapanya setiap kali mereka bertemu.

Yah, sepertinya berada di dekat Rendi memang tidak baik untuk kesehatan mentalnya.

Renata mengibaskan tangannya di udara, berusaha menghalau rasa bersalah yang menyengat di dadanya. "Anggap aja sekarang gue udah sadar, oke? Ngomong-ngomong, makasih udah nganterin gue. Gue janji ini yang terakhir kalinya."

Jo membuka helmnya dan meletakkan benda itu di tangki motornya, dan hal itu tidak luput dari pengawasan Renata. "Jo, tunggu, lo mau mampir?"

"Lo nggak mau gue mampir?"

Renata menggaruk tengkuknya dengan salah tingkah. "Bukan gitu juga, sih." Dia mau bilang jika tidak pernah ada cowok yang masuk rumahnya selain Rendi—terutama saat ibunya tidak ada di rumah seperti sekarang—tapi dia tidak bisa mengatakan itu tanpa terdengar kurang sopan. Jadi mungkin Jo bisa saja jadi pengecualian, pikirnya, mengingat dia kan bukan cowok sembarangan. Mereka berteman.

Dia dengan Jo berteman, dan dia dengan Rendi juga berteman. Tapi jelas ada perbedaan besar di sana, dan Renata tidak perlu diberitahu bahwa hubungan pertemanannya dengan Rendi jelas tidak normal.

Begitu melihat kebingungan di wajah Renata, Jo tergelak. "Gue nggak akan mampir, kok. Santai aja elah." Kata-katanya disambut kelegaan yang kentara di wajah Renata, dan Jo jadi bertanya-tanya. Dengan kepribadian yang begitu mudah dibaca seperti buku yang terbuka, mengapa Rendi belum menyadari perasaan Renata? "Gue buka helm biar lo bisa liat wajah ganteng gue ini. Siapa tahu berguna biar lo bisa tidur nyenyak 'kan."

Renata tertawa. "Dasar sinting."

Jo menurunkan standar motornya dan turun dari sana, tingginya menjulang di atas Renata meski dia masih lebih pendek dari Rendi. Mungkin itulah alasan Rendi diangkat menjadi ketua mereka, pikir Renata, karena dia adalah yang paling tinggi di antara yang lainnya. Tapi dia langsung sadar bahwa pemikiran itu konyol karena geng sekelas mereka tidak akan mengangkat seseorang menjadi ketuanya hanya karena masalah tinggi badan.

Pasti ada sesuatu yang lain. Sisi Rendi yang lain yang tidak pernah diperlihatkan pada Renata.

"Gue punya satu penawaran," kata Jo tiba-tiba. Angin menerbangkan helaian rambutnya yang lebih panjang dari aturan, tapi itu tidak membuat Renata terpesona. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia terpesona oleh cowok selain Rendi. Rasanya begitu menyebalkan begitu menyadari kalau dia bahkan tidak pernah melirik cowok lain demi cowok yang hanya menganggapnya teman.

Renata mengerjap. "Apa?"

Jo menyeringai. "Pura-pura deket sama gue."

Renata tidak bodoh—setidaknya, di luar akademis. Dia tahu apa arti dekat yang dikatakan Jo. Dia hanya tidak mengerti kenapa Jo mengatakan itu.

"Lo emang bener-bener sinting, ya?" balas Renata, sarkasme terdengar kental dalam suaranya. Dia beberapa kali menyibakkan helaian rambut kecokelatan yang menutupi wajahnya karena angin, demi melihat wajah Jo dengan jelas dan mencari humor di mata itu. Tapi dia tidak menemukannya. "Maksud lo apaan sih?"

Jo mengangkat sebelah alisnya. "Kata-kata gue emang belum jelas, ya?"

"Gue nggak ngerti kenapa lo bilang kayak gitu."

Jo mengedikkan bahu, dan untuk sesaat, Renata melihat sesuatu yang asing melintas di matanya. Tapi ketika dia berkedip, semuanya hilang dan mata Jo tetap sedatar yang dia ingat, jadi mungkin itu hanya khayalannya.

"Lo tahu, Na," kata Jo, dia maju selangkah dan Renata terlihat tidak keberatan dengan jarak mereka yang terlampau dekat—atau gadis itu hanya tidak menyadarinya. "Cowok itu biasanya baru menyadari apa yang dia punya saat semuanya sudah hilang. Ayo, deket sama gue, dan kita lihat gimana reaksi Rendi. Seenggaknya, ini bakal bikin kita semua tahu apa dia juga suka sama lo, apa dia cuma si brengsek yang suka manfaatin cewek."

Itu terdengar seperti ide bagus, dan beberapa kali ide yang sama melintas di pikiran Renata, tapi dia tidak tahu bagaimana cara memulainya. Sekarang, Jo ada di hadapannya, menawarkan hal yang sudah lama dia pikirkan, tanpa syarat. Yah, setidaknya cowok itu belum menyebutkan apa syaratnya.

"Tapi gue bisa ngelakuin itu tanpa harus deket sama siapa pun," Renata bersikeras, membantah dewi batinnya yang sudah melonjak-lonjak kegirangan. Dia selalu penasaran apa yang akan dilakukan Rendi jika akhirnya Renata memiliki seorang pacar, tapi gagasan melaksanakan idenya dengan Jo juga tidak terdengar cukup bagus.

Jo adalah teman Rendi yang paling dekat, dan Renata juga cukup dekat dengan Jo. Jika dia melakukan sandiwara ini, mungkin tidak akan terlalu berefek pada Rendi karena cowok itu biasa melihat dia akrab dengan Jo.

"Na," Jo meletakkan kedua tangannya di pundak Renata, memaksa gadis itu untuk menatapnya sekaligus semakin mengikis jarak di antara mereka. "Kalau lo masih sendiri, dia nggak akan berpikir kalau dia bisa kehilangan lo. Dia akan berpikir kalau sejauh apapun lo pergi, lo pasti bakal kembali sama dia. Dia nggak akan menyadari betapa berharganya lo, dan apa arti lo buat hidupnya. Berhenti selalu ada buat dia, berhenti selalu jadi yang dia butuhkan, biarin dia hidup di atas kakinya sendiri. Lo nggak seharusnya jadi perawat buat hatinya yang rusak. Lo harus menikmati hidup lo sendiri."

"Lo berharga," kata Rendi waktu itu. "Lo berharga buat gue, Na."

Kata-kata Rendi beradu dengan kata-kata Jo di dalam pikirannya, dan untuk sesaat, dia merasa linglung sampai tidak sadar dimana dirinya berpijak. Ketika kendali dirinya kembali, satu-satunya yang dia katakan adalah, "Dan apa untungnya buat lo?"

Jo tersenyum kecil. Tangannya masih ada di pundak Renata, dan matanya tidak pernah melepaskan tatapan mereka. "Gue cuma mau buktiin sesuatu."

"Jo, lo nggak suka sama gue kan?"

Kelegaan menyapu Renata ketika Jo tersenyum dan menggeleng, lalu matanya terlihat menerawang seperti mengingat sesuatu yang jauh. "Bukan, bukan lo."

Jo lalu melepaskan Renata dari cengkeramannya, dan mereka bertukar salam perpisahan sebelum Renata berbalik dan hilang di balik pintu gerbang rumahnya yang tinggi. Jo tetap berdiri di sana sampai gerbang itu menutup lagi, memastikan Renata sudah aman di bawah tanggung jawabnya.

Lalu dia menaiki motornya dan menyisir jalanan lagi, kembali ke rumahnya, melewati sebuah motor familiar yang diparkir agak tersembunyi di balik semak-semak, sementara pemiliknya berdiri merapat ke pepohonan, mencoba bersembunyi di balik bayang-bayang.

Jo menambah kecepatannya, tersenyum ketika merasakan tatapan tajam Rendi di punggungnya. Dia memang tahu jika Rendi mengikuti mereka sedari tadi, tapi sedikit bermain-main apa salahnya, kan?

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang