12. Pahlawannya

109 11 0
                                    

Saat orangtua gue bercerai, gue pernah bunuh diri. Dan rasanya sakit banget.

Serius, deh. Jangan melakukan kebodohan yang sama dengan gue. Karena nggak ada yang lebih mengerikan dari melihat darah super banyak keluar dari tangan lo sendiri ditambah rasa sakit yang nggak berhenti. Waktu itu, hati gue sakit, dan tangan gue lebih sakit lagi.

Rasanya benar-benar buruk, sampai gue bertanya-tanya kenapa banyak orang melakukan ini. Waktu itu, gue merasa nggak berdaya dan kehilangan kontrol terhadap diri gue sendiri. Gue tetap duduk di lantai sambil bersandar ke dinding, merasakan kegelapan melingkupi gue secara perlahan.

Di saat-saat kayak gitu, gue tiba-tiba teringat semua dosa gue, dan gue jadi nggak pengin mati. Tapi semuanya terlambat.

Gue terbangun di rumah sakit, dengan Mami yang nggak berhenti menangis di samping gue dan Papi berdiri dengan ekspresi terpukul. Akhirnya gue sadar kalau gue nggak cuma menyiksa diri gue sendiri, tapi juga mereka. Mereka sayang sama gue, dan kalau waktu itu gue mati, gue akan menempatkan mereka dalam penyesalan dan mereka akan selalu beranggapan kalau mereka adalah alasan dari kematian gue.

Dan gue nggak akan mengulanginya.

Jadi ketika perut gue mulai sakit luar biasa karena gue belum makan apapun dari pagi selain sarapan di rumah Papi, gue menyibak selimut yang menutupi seluruh tubuh gue sambil mencengkeram perut buat meminimalisir rasa sakitnya.

Tapi ketika ada langkah di depan kamar gue, gue secara refleks membaringkan diri dan berpura-pura tidur. Ada suara pintu dibuka, disusul oleh irama langkah yang menggema.

Itu pasti Mami, dan gue nggak bingung kenapa dia ada di sini. Mami pasti mendengar sesuatu dari Mbak Ratih tentang gue yang nggak mau keluar kamar dan menolak kedatangan Rendi--yang nggak pernah gue lakukan. Sesedih apapun gue, gue selalu membiarkan Rendi ada di samping gue, lalu kami akan membisu sampai gue merasa siap bercerita.

Tapi kali ini gue pengin sendirian. Gue nggak bisa duduk di samping Rendi dan malah merasa iri sama cowok itu. Kenapa dia mendapatkan keluarga yang sempurna ditambah kakak-kakak yang peduli dan seorang adik yang manis? Kenapa gue nggak dilahirkan di keluarga kayak gitu?

Ada usapan halus di rambut gue, dan helaan napas lelah. Sekarang gue bisa memastikan kalau itu memang Mami, karena Mami selalu melakukan itu setiap kali dia mengira gue sudah tertidur.

Gue mendengar suara tak asing, seperti ketika Mami mengacak-acak isi tasnya. Lalu disusul suara Mami yang penuh dengan tekanan. "Sudah kubilang kalau kamu harus memberitahunya lebih awal."

Untuk sesaat jantung gue berhenti berdetak karena berpikir kalau Mami sudah tahu sandiwara yang gue lakukan. Tapi kemudian gue sadar kalau Mami nggak bicara sama gue, karena gue nggak ngerti apa yang dia katakan.

Mami pasti berbicara lewat telepon, dan kemungkinan besar dengan Papi. Gue tahu ini nggak sopan karena menguping pembicaraan orangtua. Tapi gue nggak bisa menghentikan diri gue sendiri.

Mami terdiam sebentar.

"Seenggaknya, kalau kamu memberitahunya sejak dulu, aku akan punya waktu buat memberi dia pengertian dan memintanya hadir, Mas. Sekarang, gimana?"

"..."

"Aku nggak bisa menjamin itu."

"..."

"Mas! Prioritasku sekarang adalah Rena!"

"..."

"Aku tahu. Kamu sayang Rena, aku tahu. Tapi aku nggak akan maksa dia."

"..."

"Aku usahakan."

Lalu berhenti. Gue menunggu, tapi Mami nggak mengatakan apapun lagi. Hanya helaan napas kasar dari Mami yang terdengar. Perut gue tambah sakit, dan gue tahu gue harus minum obat sekarang juga.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang