Cinta itu bukan pelangi, bukan sinar matahari pagi. Cinta itu hujan deras. Kamu tahu kamu akan sakit, kamu tahu kamu akan terluka, tapi kamu tidak bisa berhenti.
****
Sepulang sekolah, Rendi mengantarkan gue ke rumah Papi. Gue biasanya diantar Mami, tapi berhubung Mami masih di Sydney, Rendi mengajukan diri buat memberi gue tumpangan. Gue agak ragu sih, sebenarnya, karena rumah Papi bersebelahan dengan rumah Arsen, tapi Rendi kayaknya nggak keberatan.
Iya, setelah perceraian, Papi tinggal di rumah lama kami. Papi pernah menawarkan rumah itu sama Mami, tapi Mami memilih pindah rumah tanpa memberikan alasan. Akhirnya, Mami bilang sama gue kalau dia nggak akan kuat tinggal di rumah itu, mengingat seberapa banyak kenangan yang ada di sana.
Tapi Papi bertahan. Itu memberi gue keyakinan kalau Papi juga masih menyayangi Mami. Gue berpegang dengan keyakinan itu, ditambah harapan kalau kami bisa kembali kayak dulu. Bertiga. Bersama. Bahagia.
Bukan berarti gue nggak bahagia tinggal bareng Mami. Gue bahagia, banget malah, dan ini nggak ada hubungannya dengan uang. Mami mungkin sibuk, tapi Mami selalu menyempatkan diri buat pulang kalau gue butuh Mami. Mami pernah terbang dari Jepang ke Indonesia tengah malam cuma karena mendengar kabar kalau gue sakit. Peragaan busananya bahkan belum selesai, tapi Mami merelakan semuanya buat gue.
Tapi tetap saja. Ada bagian yang nggak lengkap karena Papi nggak ada di sana. Ada tempat kosong yang hampa, yang nggak bisa digantikan oleh siapa pun. Gue butuh Papi buat memberikan rasa aman dan perlindungan. Sejak mereka berpisah, gue benar-benar kehilangan rasa percaya diri buat menghadapi orang-orang karena nggak ada lagi Papi yang bakal membela gue di hadapan dunia.
Rendi memarkirkan sepeda motornya di halaman rumah Papi. Rumahnya terlihat kosong dan sepi, mungkin Papi belum pulang, atau malah sedang berkutat di ruang kerjanya yang ada di lantai dua. Sejak bercerai, Papi dan Mami seperti sepakat menjadi workaholic sejati, tipikal orang-orang yang menjadikan dirinya budak dari pekerjaan. Gue benci itu, tapi gue juga harus paham kalau mereka membutuhkan pengalihan agar nggak merasa kesepian.
Gue turun dari motor, lalu menyerahkan jaket Rendi pada pemiliknya. "Thanks," kata gue singkat.
"Helmnya," dia mengingatkan.
Gue baru sadar kalau gue masih pakai helm. Ini mungkin sudah kayak helm gue sendiri, tapi selalu dibawa pulang sama Rendi agar tidak ribet. Padahal 'kan bakal lebih praktis kalau helm itu gue aja yang simpan, jadi dia nggak perlu ribet-ribet membawa helm itu setiap kali menjemput gue.
Gue membuka helm dan menyerahkannya pada Rendi, yang dengan sigap meletakkan helm itu di depan tubuhnya.
Apa gue pernah bilang kalau gue suka banget melihat Rendi naik motor? Serius, deh. Dia memang keren, semua orang tahu itu, tapi dia jadi jauh lebih keren waktu berada di atas motornya, terlihat gagah dan kokoh seakan siap menghadapi apa pun. Dia punya kelebihan yang bisa membuat gadis mana pun bertekuk lutut dan dia tahu cara memanfaatkannya.
Gue nggak bisa menghitung berapa banyak cewek yang pernah jadi pacarnya. Dan sebentar lagi daftarnya pasti akan bertambah.
Gue menghela napas. Sebentar lagi, Rendi nggak akan membutuhkan gue. Dia nggak pernah mengalami mimpi buruk atau takut sama kenangannya sendiri ketika dia punya pacar. Berpacaran itu adalah sebuah bentuk pengalihan buat dia, yang memberi otaknya pekerjaan dan tidak menyisakan ruang untuk pikiran-pikiran negatif yang sering menyerangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Ficção AdolescenteIridescent; Sebab permainan warna bisa membuatmu buta. Spin-off dari Waiting In The Dark *** Gue adalah cewek yang ada di sekitar lo, yang namanya seringkali lo sisipkan dalam bisikan-bisikan bernada kebencian. Gue adalah cewek yang itu, yang memaka...