5. Panggilan Tengah Malam

155 11 5
                                    

Aku ingin kau rindukan, aku ingin kau kejar, aku ingin kau buatkan puisi. Lalu aku akan bertingkah tak peduli, agar kau tahu rasanya jadi aku.

-Fiersa Besari-

****

Habis mandi dan makan malam, Rhea langsung menarik gue ke kamarnya dan memonopoli gue semalaman. Dia minta ditemani main barbie, lalu minta dibacakan tiga dongeng, sebelum terlelap begitu saja. Dia pasti kelelahan karena terlalu bersemangat memainkan boneka-bonekanya tadi.

Gue menarik selimut buat menutupi tubuhnya. Dia terlihat seperti malaikat, polos dan suci banget. Seandainya gue punya adik, gue pasti bakal punya teman di rumah, seenggaknya. Rendi memang sering menginap kalau Mami nggak ada di rumah, tapi rasanya beda 'kan sama saudara perempuan. Dia memang selalu memposisikan diri menjadi apa pun yang gue butuhkan, tapi tetap saja ada beberapa hal yang nggak bisa gue ceritakan sama dia.

Ada ketukan di pintu, dan Tante Sisca muncul dengan dua gelas susu dan sepiring kue di nampan yang dia bawa. Gue mengubah posisi jadi duduk di samping ranjang, tersenyum begitu dia semakin mendekat.

"Rhea biasanya nggak bisa tidur sebelum minum susu," Tante Sisca memulai. Dia meletakkan nampannya di nakas, lalu mengulurkan tangan untuk merapikan helaian rambut Rhea yang menutupi wajah gadis itu. Dan mata gue terasa panas. "Maaf ngerepotin kamu, ya, Rena."

Tante Sisca nggak perlu bersusah payah mengecilkan volume suaranya, karena Rhea adalah tipe anak yang tidak mudah terbangun. Dia nggak akan bangun sekali pun rumahnya dilanda gempa atau ada sepasukan polisi yang terlibat baku tembak di halaman. Dia cuma akan bangun kalau badannya digoyang-goyangkan dengan keras, atau kedua pipi tembamnya dicybit.

"Nggak ngerepotin kok, Tan. Aku juga nggak keberatan. Aku malah senang, karena rasanya kayak punya adik."

Tatapan Tante Sisca melembut. Dia lalu mengusap rambut gue pelan-pelan sebelum mengucapkan selamat tidur dan pesan bahwa gue harus meminum susunya. Gue mengangguk, dan kemudian Tante Sisca pergi.

Gue meneguk susu itu sampai habis--cuma jatah gue, tentu saja, gue nggak mungkin kuat menghabiskan semuanya--lalu membaringkan diri dan bersiap untuk tidur. Susu memang selalu jadi minuman pengantar tidur paling ampuh.

Gue pasti sudah bermimpi kalau saja ponsel gue nggak bergetar. Panggilan dari Rendi. Gue berpikir sebentar, menimbang-nimbang apakah gue emang harus mengangkatnya. Tapi gue juga nggak mungkin membiarkan dia kalah sama kenangan miliknya sendiri. Gue nggak mungkin tega.

Jadi dengan gamang gue mengangkat panggilannya, lalu menempelkan ponsel gue ke telinga. Untuk beberapa detik, nggak ada suara. Gue menunggu, nggak berniat menjadi orang pertama yang memecah keheningan. Tapi gue bisa mendengar suara napasnya dia, seakan dia terengah-engah karena baru saja mendapat mimpi buruk.

Dan itu mungkin saja memang kenyataannya. Jadi gue mengalah. "Ren?"

"Gue nggak bisa tidur," katanya cepat, dengan suara tercekat yang semakin membenarkan dugaan gue. Dia bukan nggak bisa tidur. Dia cuma nggak bisa tidur tanpa mimpi buruk.

Gue tersenyum miris. "Do you wanna build a snowman?"

Dia tertawa, tapi gue tahu dia nggak benar-benar pengin tertawa. Ada kegetiran di tawanya yang biasanya ringan. "Gue cuma mau bareng lo."

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang