13. Jatuh

120 11 0
                                    

And when the phone call finally ends
You say, "I'll call you tomorrow at 10,"
And I'm stuck in the friendzone again and again

5 Seconds of Summer - Heartbreak Girl

****

Hari ini, gue berangkat bareng sopir Mami. Gue belum mengecek pesan-pesan Rendi dan mengabaikan semua panggilannya. Gue nggak bisa melihat matanya dan menyadari kalau gue nggak punya harapan apapun. Gue sudah kehilangan Papi, dan cuma tinggal menunggu waktu buat gue kehilangan dia. Gue belum siap buat menghadapi itu.

Setelah turun tepat di depan gerbang sekolah, gue menghela napas. Gue baru sadar kalau gue nggak punya teman cewek yang cukup dekat, yang akan berguna kalau gue menghadapi saat-saat semacam ini.

Teman dekat gue cuma Rendi, dan mungkin keempat temannya. Tapi gue nggak mungkin cerita sama Jo atau yang lain, karena mereka biasanya nggak jauh dari Rendi dan cowok bukan orang yang enak buat diajak curhat. Maksud gue, mereka emang pendengar yang baik, tapi mereka bukan orang yang cocok buat mendengarkan cerita tentang keluarga gue dan Rendi.

Well, gue nggak pernah kesepian kayak gini.

Sheina mencegat gue di gerbang, membuat gue mengangkat alis tinggi-tinggi ke arahnya. Dia nggak terlihat seperti siap melabrak gue, jadi gue cukup tenang. Lagipula, dia nggak punya alasan buat itu. Sekali pun dia tahu perasaan gue sama Rendi, dalam kasus ini dia tetap menjadi tersangka karena merebut Rendi dari gue, bukan sebaliknya.

Gue nggak mengatakan apapun, hanya menatapnya tanpa putus. Gue nggak akan ngomong sebelum ditanya, apalagi mengingat omongannya di kantin. Dia jelas nggak termaafkan.

"Na," panggilnya. Dia masih menyelempangkan tasnya di pundak, tanda bahwa dia juga baru sampai.

"Hm?"

"Gue...."

"Iya?"

"Gue minta maaf," kata dia pada akhirnya. Gue sedikit tercengang, sih, karena minta maaf bukanlah hal yang bisa disandingkan dengan orang sok polos yang nggak pernah memikirkan orang lain kayak dia. Tapi gue tetap mendengarkan.

"Na?" tanyanya dengan hati-hati ketika gue nggak mengatakan apapun.

"Iya, gue denger."

Dia mengerang. "Gue tahu gue salah. Gue temen lo--" gue memutar bola mata waktu Sheina mengatakan itu, "--dan gue seharusnya belain lo, bukan dengerin omongan orang. Tapi serius, gue nggak pernah bermaksud buat ngatain lo jalang."

Gue berpikir sebentar. Dia bisa saja meminta maaf cuma karena gue adalah teman Rendi dan dia nggak mau kelihatan jelek di depan cowok itu. Tapi bagaimana pun juga, niatnya untuk meminta maaf patut diapresiasi. Buat orang kayak dia, meminta maaf bukanlah hal yang patut dilakukan, karena perasaan orang lain itu bukan urusan dia. Dia bisa mengatakan apapun yang dia mau, dan kalau orang itu nggak bisa menerimanya, itu bukan salah dia.

Dia emang menyebalkan, tapi dia minta maaf sama gue.

"Jadi?" tuntutnya ketika gue masih saja diam. Kami berdiri tepat di depan gerbang, tapi nggak ada yang berani menegur kami dan mereka secara otomatis menyingkir.

Gue mengedikkan bahu, mencoba terlihat tak peduli. "Lo dimaafkan."

Dia tersenyum lebar. Dalam keadaan seperti itu, dia terlihat sangat innocent, seperti peri yang sering digambarkan di film-film fiksi. Tapi tunggu saja sampai lo dengar dia ngomong. Imajinasi lo bakal rusak dan yang ada di pikiran lo cuma tentang nenek sihir dan seberapa kuat lo pengin nabok dia pakai sepatu.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang