26. Sisi Lain Jo

92 13 11
                                    


Apa yang lebih menyenangkan dari bel istirahat? Bel pulang sekolah. Sudah pasti.

Renata selalu jadi orang yang menyambut waktu pulang sekolah dengan senang hati. Sesepi apapun rumahnya, itu tetaplah rumah dan satu-satunya tempat ternyaman yang dia punya. Tapi sekarang, mengingat dia harus pulang dengan Jo, semua semangatnya hilang hingga dia hanya membenamkan kepala di lekukan tangannya di atas meja saat semua orang bergegas mengakhiri hari mereka di sekolah.

Ini seharusnya jadi rencana yang hebat, agar Renata tahu bagaimana posisinya sebenarnya di hidup Rendi. Tapi semuanya jadi kacau karena dia lupa pada fakta bahwa Rendi adalah orang paling labil yang dia kenal. Rendi bisa terlihat seperti cowok yang cemburu, tapi beberapa detik kemudian terlihat tak peduli seakan dia bisa santai saja meski sebuah kereta menabrak Renata. Renata tidak tahu bagaimana dia harus memposisikan dirinya di depan cowok itu, dan seperti biasa, semuanya malah berakhir dengan luka.

Sheina mengguncangkan pundak Renata, mengernyit begitu mendengar gumaman kasar Renata yang teredam. "Lo kenapa sih? Nggak mau pulang."

Dengan enggan, Renata mengangkat kepalanya dan menyadari bahwa semua alat tulisnya sudah tersimpan rapi di dalam tas, dan dia tahu itu berkat Sheina. "Thanks," jawabnya pelan, tiba-tiba merasa bersalah karena perasaannya pada Rendi. "Lo pulang bareng Rendi?"

"Nggak. Katanya dia mau ke toko buku."

Renata mengerutkan dahi dalam-dalam. Rendi dan toko buku bukanlah dua hal yang bisa disatukan. Kunjungannya ke perpustakaan sekolah bahkan bisa dihitung dengan jari—kalau bukan karena tugas yang tidak bisa didapatkan di internet, pasti karena hukuman. Meski pun dia cukup pintar, tumpukan buku bukan sesuatu yang bisa disandingkan dengannya.

"Oh," Renata memilih untuk tidak mengomentari kebohongan Rendi, "terus lo pulang sama siapa?"

Sheina mengedikkan bahu. "Dijemput bokap. Gue duluan, ya."

Renata melambaikan tangan setelah mengucapkan beberapa salam perpisahan, lalu mendengus sebal dan menyampirkan tasnya di pundak sebelum meninggalkan kelas yang telah kosong itu. Cahaya matahari sore menembus jendela dan memberikan suasana terang benderang di ruangan itu, membuat Renata teringat Rendi.

Ah, bego, dia merutuk sebal. Bagaimana bisa semua hal mengingatkannya pada Rendi?

Koridor cukup lengang, dan Renata mengumpat ketika melihat Jo berjalan ke arahnya. Tas Jo disampirkan di satu bahunya, risleting jaketnya tidak ditutup, memperlihatkan seragamnya yang berantakan tanpa dasi. Cowok itu jelas keren, dan dia tahu cara memanfaatkannya.

"Pulang yuk, Na," ajak Jo ketika dia dan Renata hanya berjarak satu meter. Beberapa siswi meliriknya dua kali, lalu saling berbisik dengan temannya sambil melompat-lompat ketika Jo memberi mereka sebuah senyuman.

Ah, playboy itu.

Renata berusaha agar tidak mendengus. Itu hanya akan membuatnya terlihat seperti seorang gadis yang cemburu, dan itu sama sekali tidak benar. Kemungkinan dia menyukai Jo adalah satu banding seratus. Dia bahkan lebih berpotensi menyukai Al yang tengil atau Paris yang pendiam atau Bima yang menyebalkan daripada Jo yang jelas-jelas memiliki kekuatan untuk membuat gadis mana pun bertekuk lutut di hadapannya.

Menyukai seseorang seperti Jo adalah sebuah kebodohan, pikir Renata sebal, mengingat bagaimana keramahannya pada cewek—dan dia memang ramah pada semua cewek. Dia bisa dengan santai menggoda guru perempuan untuk mendapatkan nilai, meski untuk yang satu itu, dia sering gagal.

"Gue nggak mau pulang sama lo," desis Renata tajam, ketika perhatian Jo kembali tidak berpusat padanya, melainkan pada beberapa cewek yang melintas di depan mereka dengan rok pendek dan kemeja ketat. Jo bahkan memberikan siulan yang ditanggapi dengan cekikikan dan tatapan genit. "Serius deh, Jo, gue nggak bisa deket-deket sama lo."

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang