11. Kabar Buruk

122 11 0
                                    

Happy reading😘

****

Ponsel gue berbunyi terus-terusan. Gue mendengus, tapi tetap membukanya. Gue pikir itu Rendi dan semua tingkah kekanakkannya setiap kencan, tapi gue salah.

Asupan Nutrisi
Jo: Gaes
Jo: Gaes
Jo: Anjir gue dikacangin
Bima: Diem goblok
Bima: Gue lagi belajar
Al: Kesambet apaan lo bim
Bima: Kesambet amarah Bunda Ratu
Renata: Bacot
Jo: Anjir tuan putri nongol
Bima: Tuan putranya mana?
Jo: Bego, mana ada tuan putra
Al: Katanya belajar, bim
Bima: Bos Rendikuh, Jo
Jo: Najis
Bima: Hayati lelah belajar mulu, Bang😭
Renata: Dikit-dikit ngeluh
Renata: Malu sama badan😒
Al: Nah loh
Jo: Nah loh (2)
Paris: Nah loh (3)
Bima: Si Paris urusan bully gue aja nongol
Paris: Gue punya bnyk hal yg lebih pntng, btw
Renata: Contohnya?
Paris: Jaga Rendi biar gk main cium smbrngn
Al: Lo disana?
Jo: Nggak ada kerjaan banget sih liatin orang pacaran
Bima: Mending sama gue nih, banyak makanan
Jo: Pantes badan lo segede gentong
Bima: Jangan pernah ngehina badan gue ya tai😠
Jo: Iya, lo tai
Bima: Sini ribut😠
Jo: Jemput dong😍
Al: Bacot kalian. Chat pribadi sana

Gue menghela napas dan menutup jendela chat grup. Mereka kadang lucu dan konyol banget, tapi mereka nggak tahu kalau gue suka sama Rendi, jadi mereka sering ngomong sembarangan. Maksud gue, gue jelas nggak butuh informasi tentang Rendi mencium Sheina, kan? Gue tahu Paris nggak bermaksud jelek, karena dia emang nggak tahu apa-apa, tapi ini berhasil membuat mood gue turun ke titik nol.

Tutup mata, Renata, tarik napas. Gue cuma harus yakin kalau semuanya akan baik-baik saja.

****

Ini hari Sabtu, dan Papi juga libur. Walau pun begitu, gue sudah menemukan dia duduk tegak di depan laptopnya. Dia nggak melakukan apapun, cuma duduk dan memandang kosong, seakan jiwanya nggak ada di sini. Dia terlihat seperti sedang menanggung beban dunia, jadi gue memutuskan untuk membuat roti bakar diam-diam.

Tenang, gue nggak akan meledakkan dapur cuma karena menyentuh toaster.

Setelah sarapannya jadi--rotinya agak gosong, sih, tapi masih layak dimakan--gue membuat dua gelas susu vanila. Papi bukan tipe orang yang kuat meminum kopi pagi-pagi, karena maagnya akan kambuh jika mendapatkan asupan kafein sebelum memakan nasi.

Kalau penyakit maag itu bawaan genetik, gue pasti sudah menyalahkan Papi. Sayangnya, yang harus disalahkan adalah pola makan kami yang nggak teratur dan seringkali melupakan makan karena terlalu banyak ngemil. Mami sering marah karena itu, tapi akhir-akhir ini Mami bahkan nggak pernah bertanya apa gue makan dengan benar atau nggak.

"Pi?" gue bertanya di balik punggung Papi. Papi nggak duduk di ruang kerja, jadi gue nggak segan buat menghampiri dia.

Papi tersentak, lalu menoleh ke arah gue. Dia tersenyum lelah, bayangan di bawah matanya terlihat semakin gelap. Dia terlihat lebih kacau dari semalam, membuat gue bertanya-tanya apa sebenarnya yanh salah. "Kamu kok udah bangun?"

Gue mengedikkan bahu. "Aku bikinin sarapan buat Papi."

Mata Papi menyipit dengan sikap defensif, yang selalu dia lakukan kalau menyangkut masakan gue. "Cuma roti bakar, kok. Aman."

Papi mengangkat sebelah alisnya. "Yakin nih? Papi harus siapin ambulans nggak?"

"Papi!" Gue mengentakkan kaki dan cemberut. "Aku nggak niat ngeracun, Pi. Emang agak gosong sedikit, sih, tapi masih aman."

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang