Ketika gue meminta Rendi buat membawa gue pergi, rumah bukanlah tempat yang ada di deretan teratas prioritas gue.
Tapi di sinilah kami sekarang. Duduk di ruang keluarga yang langsung menghadap ke kolam renang, dengan segelas jus jeruk dan soda kalengan di atas meja. Ini bukan tempat yang tepat, karena rumah akan selalu mengingatkan gue pada keluarga gue yang nggak bisa lagi menjadi tempat pulang.
Tapi gue nggak bisa menolak, meski pun rumah Rendi terdengar lebih baik daripada rumah gue sendiri.
"Gue masih nggak bisa renang," Rendi buka suara setelah gue membisu dan hanya memperhatikan daun pohon mangga yang bergerak-gerak karena angin.
Gue tertawa kering, nggak cukup kuat buat menimpali kata-katanya. Lidah gue rasanya kaku dan menebal, dan gue bahkan belum sempat menyentuh jus jeruk yang dibuatkan Mbak Ratih tadi.
Gue nggak butuh minum. Gue cuma butuh tidur, selamanya, atau seenggaknya hanya sampai takdir berbaik hati memudahkan semua yang gue inginkan. Papi kembali, dan Rendi jadi milik gue. Meski keduanya sama-sama merupakan kemustahilan yang gue harapkan dengan nggak tahu diri.
Rendi tertawa, tapi tawanya sama-sama kosong. Dia menyilangkan kakinya di atas kaki yang lain, terlihat penuh kontrol namun rapuh di saat yang bersamaan. Dia hanya mencoba melindungi dirinya sendiri dari dunia, menampilkan sisi buruknya agar tidak ada seorang pun yang tahu bahwa dia lemah luar biasa.
Sebab sebagaimana gue, dia juga hanyalah remaja yang gemar berpura-pura.
"Gue nggak takut berenang, sebenarnya," akunya. "Gue cuma takut tenggelam."
"Gue juga nggak takut ketinggian. Gue cuma takut jatuh."
"Karena kita itu sebenernya pengecut, kan?" tanya Rendi retoris. Ada banyak luka di kalimatnya dan gue nggak sanggup mengingat Arina dalam keadaan seperti ini. "Kita cuma berlari dari takdir, ketakutan, dan coba buat sembunyi. Tapi waktu menampar kita, menyadarkan kita kalau itu semua percuma. Itu cuma membuktikan kalau kita emang pecundang."
"Payah," gue menambahkan.
"Iya, payah," timpalnya.
Hening lagi. Dia mungkin sibuk mengingat kembali bagaimana Arina terbaring di pangkuannya, berlumuran darah, dengan nama Arsen terucap di antara napasnya yang lemah. Dia mungkin sedang mengenang gadis sialan yang nggak pernah menghargai kehadirannya, yang menjebak dia dan Arsen dalam tanggung jawab atas kematian seseorang.
"Gue pernah bunuh diri." Meskipun gue tahu kalau Rendi sudah mengetahui fakta itu--dia bahkan hampir menangis waktu menjaga gue di rumah sakit--gue tetap pengin mengatakan ini. "Dan rasanya nggak enak banget. Sakit." Gue mengulas senyum miris, memutar leher ke arahnya dan mendapati kalau matanya nggak pernah meninggalkan gue. "Dan kali ini rasanya hampir sama. Gue hidup tapi berasa mati. Gue nggak punya tujuan lagi."
Karena lo nggak bisa gue jadikan tujuan, kecuali kalau gue mau lebih hancur lagi dari ini.
"Keluarga gue sempurna." Rendi mengulurkan tangannya, meneguk soda kalengan yang mulai berembun di atas meja. "Tapi gue juga nggak pernah menjadikannya sebagai tujuan. Karena keluarga itu bukan tujuan, Na. Keluarga itu hal yang mutlak, yang nggak bisa lo lupain, nggak bisa lo cari gantinya. Lo nggak akan pernah kehilangan keluarga, kecuali gara-gara maut."
Gue menelan ludah, yang terasa sangat susah seakan ada bola golf yang tersangkut di tenggorokan. Kata-kata Rendi memang benar, tapi nggak sepenuhnya benar. "Keluarga bisa berubah, Ren. Lo tahu orangtua yang ngebuang anaknya gitu aja? Mereka memiliki ikatan darah, tapi nggak dengan ikatan batin. Mereka nggak dipisahkan oleh kematian, kan?"
Rendi diam. Gue juga nggak menuntut dia, lebih memilih memperhatikan riak air di kolam renang, bertanya-tanya apakah air bisa membasuh semua luka gue. Seandainya waktu bisa diulang, gue akan menerima perceraian mereka dengan lapang dada, nggak berharap sama Papi, dan nggak jatuh cinta sama Rendi. Seandainya itu terjadi, hidup gue pasti lebih baik dari ini. Gue cuma harus menghabiskan sisa hidup gue bareng Mami, menyayanginya sepenuh hati tanpa harus berbagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen FictionIridescent; Sebab permainan warna bisa membuatmu buta. Spin-off dari Waiting In The Dark *** Gue adalah cewek yang ada di sekitar lo, yang namanya seringkali lo sisipkan dalam bisikan-bisikan bernada kebencian. Gue adalah cewek yang itu, yang memaka...