Renata membanting tasnya ke atas meja, lalu menelungkupkan kepala di atasnya dan berharap bumi menelannya sekarang juga.
Kelas sudah ramai, dan beberapa orang meliriknya penuh tanda tanya, sementara sisanya mendengus karena menganggap dia mencari perhatian, sebagaimana biasanya. Renata sudah biasa dengan tatapan-tatapan sinis itu, yang selalu dia dapatkan bahkan ketika dia hanya bernapas, seakan eksistensinya saja sudah merupakan sebuah kesalahan.
Ah, persetan dengan mereka.
Renata menarik napas pelan-pelan, dalam usaha menahan diri agar tidak merangsek dan mengulangi apa yang telah dia lakukan pada Rendi. Kenapa dunia memilih untuk menyerangnya hari ini, sih? Pertama Papi. Lalu Angga. Rendi.
"Na, tadi gue liat lo sama Rendi."
Dan sekarang Sheina.
Renata mengerang, menyadari bahwa hari ini lengkap sudah. Kenapa Sheina tidak bisa membiarkannya sendiri dan menganggapnya tidak ada saja? Semuanya sudah cukup buruk bahkan tanpa konfrontasi yang akan Sheina mulai sebentar lagi.
Renata menghitung dalam hati untuk drama yang akan segera dimulai.
Sheina menghela napas. "Na, bangun, gue mau ngomong sama lo."
Tanpa mengangkat kepalanya dari meja, Renata bergumam, "Gue nggak mau ngomong apapun."
"Rena," suara Sheina terdengar lelah dan rapuh, sesuatu yang menyakiti Renata dalam-dalam ketika dia sadar apa yang telah dia lakukan di belakang Sheina. Dia memang tidak menjadi selingkuhan Rendi atau semacamnya, tapi perasaannya saja terasa salah dan sikap Rendi yang tidak pernah menjauh darinya membuat semuanya lebih salah lagi. "Kita harus ngomong."
"Ngomong aja."
"Yang mau gue omongin ini pacar gue, sahabat lo," balas Sheina, dengan penekanan berlebihan di kata sahabat, membuat Renata menegakkan punggungnya dan menatap Sheina dengan malas.
Renata mengedarkan pandangan ke sekeliling, menyadari tatapan-tatapan penasaran yang langsung berpaling ketika bertemu dengan matanya. Dia mendesah. "Lo yakin mau ngomongin ini sekarang?" tanyanya, dengan nada lebih sinis dari yang dia niatkan, membuatnya merasa sangat jahat karena ini sama sekali bukan salah Sheina.
Dengan satu gerakan tangkas, Sheina menarik tangan Renata. "Nggak disini."
Renata mengangkat alisnya kaget. "Bentar lagi bel masuk lho."
"Gue nggak mau nunggu sampai jam istirahat."
"Dan gue nggak mau bolos pelajaran cuma buat omong kosong ini."
Sheina menghempaskan tangan Renata ke atas meja, menatap Renata seakan ingin melenyapkan gadis itu sekarang juga. Yah, itu bukan masalah besar, sebenarnya, karena itu juga yang dia inginkan. "Lo serius mau kayak gini sama gue, Na?" desahnya lelah, dan matanya memerah karena tangis yang ditahan. Itu membuat Renata merasa penuh dosa, menyadari bahwa ternyata lukanya juga melukai orang lain.
"Shein," panggil Renata, menurunkan suaranya karena dia bahkan tidak punya cukup energi untuk berteriak. Dia menarik napas pendek-pendek karena udara bahkan terasa menyakitkan untuk paru-parunya. "Kita bakal ngomongin semua yang lo mau. Tapi nggak sekarang. Tolong."
"Dan lo pikir gue mau nunggu beberapa jam lagi buat dapetin jawaban?" tukas Sheina keras, membuat Renata mengerang karena sikapnya yang tidak kooperatif. "Lo mau bikin gue lebih lama jadi domba dungu sementara lo sama Rendi ngetawain gue? Gitu?"
Kali ini, ucapan Sheina membuat semua orang berpaling dan mengamati mereka dengan terang-terangan. Setelah apa yang terjadi hari ini, menjadi pusat perhatian adalah hal terakhir yang Renata butuhkan, jadi dia menghembuskan napas letih sebelum berdiri dan menarik Sheina keluar dari ruangan yang kini terasa menyesakkan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
Teen FictionIridescent; Sebab permainan warna bisa membuatmu buta. Spin-off dari Waiting In The Dark *** Gue adalah cewek yang ada di sekitar lo, yang namanya seringkali lo sisipkan dalam bisikan-bisikan bernada kebencian. Gue adalah cewek yang itu, yang memaka...