15. D-Day

101 11 0
                                    

Hari ini tiba juga.

Rendi melirik gue sebentar setelah memarkirkan mobil Bang Devan di antara mobil-mobil lain yang nggak terhitung jumlahnya. Bang Devan berinisiatif datang dengan mobil Om Sandi bareng keluarga kecil mereka, membiarkan gue sama Rendi memakai mobilnya. Gue nggak tahu apa alasannya, tapi Bang Devan mungkin tahu kalau gue nggak mungkin datang sendirian dan gue juga nggak mungkin datang bareng keluarga mereka yang bahagia buat menyaksikan kehancuran keluarga gue.

Ya Tuhan, gue pengin banget ditelan bumi sekarang.

Rendi mencondongkan badan buat melepas sabuk pengaman gue, tapi gue nggak punya cukup tenaga buat merasa deg-degan karena jarak kami yang terlampau dekat. Tangan dan kaki gue sudah dingin karena gugup, dan ada sebuah lubang hampa di dada gue yang membuat gue kesulitan bernapas.

Gue harus kuat.

"Na," panggil Rendi ketika gue masih menatap lurus ke depan, memperhatikan seberapa banyak orang yang berlalu lalang di acara resepsi sore ini. "Gue tanya sekali lagi. Lo mau lanjut, atau pulang?"

Tawarannya terdengar menggiurkan. Gue membayangkan gue bergelung di bawah selimut, sendirian, nggak perlu menghadapi tatapan kasihan dari orang-orang atas keluarga gue yang nggak karuan.

Tapi gue nggak bisa. Papi tetap Papi gue, dan seperti kata Rendi, nggak ada yang bisa mengubah fakta itu. Papi pasti kecewa banget karena gue nggak datang di akad nikahnya tadi pagi, dan gue nggak bisa membayangkan bagaimana perasaan Papi kalau gue nggak datang ke resepsinya juga.

Tapi Papi juga sudah mengecewakan kami.

Gue menarik napas cepat dan tajam. "Gue nggak apa-apa."

"Gue percaya."

Gue turun dari mobil, dan kaki gue gemetar. Sepatu hak tinggi yang gue gunakan juga nggak membantu. Untungnya, Rendi menawarkan tangannya sebagai tempat gue berpegangan, terlihat begitu santai hingga gue berangan-angan seandainya gue bisa sesantai itu.

Dia memakai setelan jas lengkap, dan gue juga memakai gaun biru pastel selutut yang mewah namun nggak pantas dengan wajah gue yang pasti terlihat sengsara banget. Ini gaun rancangan Mami, yang dia berikan di ulang tahun gue, dan gue baru memakainya sekarang karena belum menemukan waktu yang pas.

Ironis banget.

Pintu masuknya dijaga oleh dua orang lelaki necis dengan setelan rapi. Mereka memberikan kami izin untuk masuk ketika gue menyebutkan nama gue.

Gue berhenti melangkah begitu kami hampir memasuki aula resepsi. Rasanya ada beton yang mengimpit dada gue sampai gue harus mencengkeram lengan Rendi sekuat tenaga. Gue nggak siap. Gue nggak bisa melihat Papi di sana, terlihat bahagia sementara gue kehilangan dia secara perlahan.

Gue mungkin akan tetap jadi anaknya, tapi semuanya nggak akan sama.

"Na?" Rendi terlihat khawatir dan dia menarik gue ke pinggir agar nggak menghalangi orang-orang yang hendak masuk. "Kita pulang aja, ya? Lo belum siap."

Dia tahu. Dan gue emang nggak akan siap, selamanya.

Tapi ini kesempatan terakhir gue. Gue nggak akan melihat Papi setelah ini--seenggaknya gue nggak akan jadi orang yang mendatangi dia setiap akhir pekan--dan ini akan jadi salam perpisahan kami. Gue nggak boleh menyia-nyiakan momen di mana gue bisa melihat wajah bahagia Papi, meski untuk terakhir kalinya.

Gue menggeleng lemah. "Ayo masuk."

Rendi terlihat nggak setuju. "Na, jangan maksain diri lo sendiri."

"Tapi gue harus, Ren."

Rendi hampir mendebat gue lagi, tapi dia mengalah dan menuntun gue ke arah aula resepsi. Tema putih dan gold menyambut kami, ditambah rangkaian bunga yang tersebar di seluruh penjuru. Gue meringis begitu menyadari kalau resepsi ini terlihat begitu mewah, dan terasa nggak adil.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang