24.

113 11 2
                                    


Renata tahu, dia sudah mendorong Rendi menjauh. Dan mengingat cowok itu tidak menyukainya dengan cara yang sama, Renata tidak bisa berharap lebih. Tapi ada bagian kecil dari hatinya—bagian yang lebih jujur—yang merasa kecewa karena Rendi tidak muncul di rumahnya sekadar untuk menuntut penjelasan. Dia bahkan tetap terjaga sampai lewat tengah malam, menunggu ponselnya berdering karena panggilan dari Rendi. Tapi tidak ada. Dan dia jatuh tertidur dalam kekecewaan.

Sebelumnya, dia terlalu dipenuhi kemarahan sampai dia tidak sadar apa konsekuensinya. Ketika dia memutuskan untuk pergi, dia tidak akan bisa kembali. Rendi tidak mungkin menahannya, Renata tidak sepenting itu, apalagi ketika Rendi memiliki Sheina. Setiap kali Rendi memiliki pacar, Renata selalu tersingkir secara otomatis, meski jok belakang motor Rendi selalu jadi miliknya.

Dan sekarang tidak lagi.

Renata mendesah kecewa ketika motor Jo sudah terparkir apik di samping motor geng mereka yang lain—bagian timur tempat parkir seperti menjadi tempat khusus mereka secara tidak tertulis. Bima, Paris, dan Al melambai dari tempat duduk mereka di bawah pohon yang besar, sementara murid-murid lain berlalu-lalang dan sesekali melemparkan tatapan penuh cibiran pada Renata.

Renata mendengus. Sekarang, dia sudah kebal dengan cibiran semacam itu. Atau bisik-bisik keras di belakang punggungnya. Karena dia memang bukan cewek baik-baik, meski dia juga tidak seburuk yang mereka gunjingkan. Lagipula, nih, dengan rok sependek itu yang sedikit terangkat karena duduk di atas motor, dia secara resmi sudah menempelkan label "cewek nakal yang suka pamer badan" di dahinya.

Yah, setidaknya, dulu Rendi selalu memberikan jaketnya untuk menutupi kaki Renata di atas motor. Tapi dia jelas tidak bisa mengharapkan sikap hangat yang sama dari Jo.

"Thanks, ya," gumam Renata ketika dia turun dari motor Jo dan menyibakkan rambutnya yang sedikit berantakan. Untuk seorang cewek, rambut berantakan di pagi hari adalah hal yang nggak banget, dan mood Renata yang sebelumnya buruk karena keabsenan Rendi kini menjadi lebih buruk lagi. "Gue ke kelas duluan."

Jo mencekal tangan Renata, membuat gadis itu berbalik dalam sekali sentakan. "Tunggu Rendi sampe, deh. Lo nggak mau ngasih pertunjukkan buat dia?"

Renata mengerang. "Gue udah pikirin ini semaleman. Dan gue nggak yakin ini bakal berhasil." Dia berusaha melepaskan diri dari Jo, tapi menyerah ketika Jo bersikeras menahan tangannya. "Dia cuek banget, Jo, dia nggak bakal terpancing sama hal kayak gini."

Jo menyeringai. "Kita liat nanti," katanya, anehnya terlihat senang seakan ini adalah sesuatu yang menarik untuknya. Setelah dia menyimpan helmnya, mereka berjalan ke arah Paris dan yang lain, sementara Jo tetap bersikeras menggenggam tangan Renata.

Renata tidak tahu apa yang sebenarnya sedang mereka mainkan, tapi dia punya firasat jika ini tidak akan berakhir baik.

Mereka berbasa-basi sejenak, meski Renata bisa merasakan tatapan ingin tahu yang dilemparkan Paris padanya. Paris selalu jadi yang paling pendiam, tapi sekaligus yang paling mengerti. Kadang Renata merasa takut pada cowok itu, karena matanya seperti orang yang pernah melihat semua hal di muka bumi dan tahu segalanya.

"Na, kok nggak bareng si Rendi?" Akhirnya Al menyuarakan pertanyaan yang menggantung di antara mereka, membuat Renata terdiam untuk sesaat sebelum Jo mengambil alih keadaan.

"Rena kasian sama jok motor gue, kelamaan kosong soalnya," katanya ringan. Dan entah bagaimana caranya, orang-orang mulai percaya. Bahkan Paris. Tidak ada lagi pertanyaan tentang Renata dan Rendi, dan Renata tidak tahu apakah seharusnya dia bersyukur atau sedih.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang