Bahagiamu, bahagiaku pasti
Berbagi takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hatiDewi Lestari - Malaikat Juga Tahu
****
"Pagi, Sayang," sapa Tante Sisca begitu gue memasuki ruang makan. Gue sudah berusaha pakai make up setebal mungkin--gue bahkan pakai eyeshadow dan blush on--buat menutupi wajah gue yang sembab dan pucat karena kombinasi menangis semalam plus nggak nggak tidur sama sekali. Kepala gue cukup pening, tapi gue memilih buat mengabaikannya.
"Pagi, Tante," balas gue. Om Sandi tersenyum dan mengangkat gelas susunya ke arah gue, yang gue balas dengan anggukan ramah. Gue selalu suka suasana rumah ini di pagi hari, begitu damai dan hangat, hal yang jelas nggak akan pernah ada lagi di rumah gue.
"Pagi Kak Rena," Rhea ikut-ikutan dengan mulutnya yang penuh roti. Gue mencium pipinya sebagai balasan, membuat dia tersenyum lebih lebar sambil mengunyah rotinya.
Tante Sisca mengarahkan tangannya ke lembaran-lembaran roti di atas piring. "Sarapan, Na."
Gue menggeleng. "Aku lagi diet, Tan."
Bohong. Gue nggak pernah diet, karena gue juga bukan tipe cewek yang gampang gendut. Gue cuma nggak punya hasrat buat sarapan. Melihat makanan-makanan itu saja cukup buat bikin tenggorokan gue seret dan perut gue mual. Mungkin maag gue kambuh. Atau mungkin gue berubah jadi cewek cengeng yang nggak punya nafsu makan gara-gara patah hati.
"Jangan diet-diet lah, Na, udah cantik gitu," timpal Bang Dion setelah meneguk susunya. Dia kakak Rendi yang sekarang menyandang status mahasiswa tingkat pertama. Dia cukup tengil juga, dan nggak pernah akur sama Rendi atau pun Rhea.
Gue tersenyum. "Gue anggap itu pujian lho, Bang."
Bang Dion tergelak. "Emang pujian, kok."
Bang Devan--anak tertua di runah ini dan jelas paling dewasa--melemparkan tatapan menegur pada Bang Dion yang saat ini meringis sambil membentuk tanda damai dengan dua jarinya di udara. "Kamu ini pagi-pagi udah gombalin anak orang."
Dulu, gue pernah terpesona sama Bang Devan. Secara 'kan dia karismatik banget, berwibawa, dan jelas-jelas ganteng. Dia juga cerdas banget, dan sekarang sedang bekerja di salah satu firma hukum. Gue nggak tahu posisi dia di kantornya, dan nggak terlalu mau tahu juga. Bagaimana pun juga, gue kan nggak seharusnya terlalu penasaran sama hal-hal pribadi kayak gitu.
"Bukan gombal kok, Bang," Bang Dion menurunkan jarinya dan sekarang menatap gue dengan tatapan konyol yang membuat Bang Devan terlihat berhasrat menusuk matanya dengan pisau roti. "Rena 'kan emang cantik banget. Apa lagi kalau dia mau jadi pacar gue, ya."
Gue tertawa, sebelum Rendi memasuki ruangan dengan gayanya yang khas. "Nggak ada pacar-pacaran. Rena nggak akan pacaran, apa lagi sama lo."
Sebelum gue menyadari, Rendi sudah merangkul pundak gue, membuat Om Sandi berdeham sebagai teguran. Rendi, yang untungnya masih punya malu, meringis dan menurunkan tangannya. Gue tiba-tiba merasa canggung dan mengambil satu langkah buat menjauh dari Rendi. Tatapan Om Sandi, entah bagaimana, membuat gue merasa dikuliti.
Tante Sisca mengedikkan bahunya, lalu tersenyum ke arah gue dan Rendi. "Sarapan, Ren, sekalian tuh Renanya paksa makan."
Rendi memutar kepalanya ke arah gue dengan wajah penuh tanda tanya yang membuat gue jengah. "Lo belum sarapan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Iridescent
JugendliteraturIridescent; Sebab permainan warna bisa membuatmu buta. Spin-off dari Waiting In The Dark *** Gue adalah cewek yang ada di sekitar lo, yang namanya seringkali lo sisipkan dalam bisikan-bisikan bernada kebencian. Gue adalah cewek yang itu, yang memaka...