10. Dia dan Luka

153 11 4
                                    

Happy reading😘

****

Seperti dugaan gue, Papi sedang duduk di depan laptopnya di ruang kerja, dengan pencahayaan temaram yang jelas nggak bagus buat matanya. Papi minus dua, tapi menolak memakai kaca mata kecuali dalam beberapa keadaan yang mengharuskannya melihat dengan jelas, seperti saat ini.

Dari belakang, gue bisa melihat punggung Papi yang membungkuk ketika dia mencondongkan badan ke arah layar laptop yang menampilkan berbagai tabel dan diagram yang nggak gue mengerti. Gue selalu sedih kalau melihat Papi atau Mami yang terlalu serius kerja sampai melupakan kehidupan pribadinya. Papi bahkan masih memakai setelan kerjanya, tanda dia baru pulang. Tapi sekarang dia harus berkutat lagi dengan pekerjaan di waktu yang seharusnya dia gunakan buat istirahat.

Gue tahu, harta bukan tujuan utama mereka. Mereka punya banyak tabungan yang nggak akan habis meski dipakai untuk membeli mobil mewah atau membiayai gue kuliah ke luar negeri. Gue jadi berpikir, untuk mereka, pekerjaan itu kewajiban atau malah sebuah kebutuhan? Mereka bekerja karena tuntutan hidup, atau pekerjaan adalah tuntutan hidup itu sendiri?

Nggak tahu lah. Gue bingung.

"Pi?" panggil gue, masih berada di ambang pintu. Gue nggak pernah berani masuk ke ruang kerja Papi tanpa izin, karena sebagaimana kamar, ruang kerja adalah ruang paling pribadi dan gue paham kalau Papi membutuhkan privasi.

Papi berbalik dan mengintip lewat punggungnya sebelum melepaskan kacamata yang dia pakai. "Rena?"

Gue cemberut dan melipat tangan di bawah dada. "Memangnya siapa yang sering datang ke sini selain aku?"

Papi berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah gue. Kemejanya kusut, mungkin karena dipakai seharian. Ada bayangan hitam di bawah matanya, yang memberitahu gue kalau Papi nggak mendapat waktu tidur yang cukup. Tapi Papi terlihat lebih segar dari minggu lalu. Serius, deh. Minggu kemarin Papi sangat kurus dan nggak bergairah seperti mayat hidup. Dia bahkan cuma berbicara hal-hal kecil sama gue dan lebih banyak melamun.

"Papi cuma banyak pikiran," katanya waktu gue bertanya. Gue sempat pengin tahu apa yang mengganggu pikirannya sampai dia nggak memikirkan dirinya sendiri, tapi waktu itu gue menahan diri.

Gue memeluk Papi, merasakan kehangatan dan keamanan yang gue rindukan. "Aku kangen Papi."

Papi terkekeh. "My princess," bisiknya sambil mengacak rambut gue. Kalau orang lain yang melakukan itu, gue pasti sudah cemberut dan jengkel setengah mati. Tapi gue nggak bisa marah sama Papi. "Kok tumben manja, sih?"

Gue mengurai pelukan kami sambil tertawa. "Papi mau makan, nggak? Aku masakin, deh."

Papi melipat tangan di depan dada dan memasang sikap defensif yang membuat gue menyipitkan mata karena sebal. Papi selalu curiga sejak gue memasakkan nasi goreng yang kemanisan karena gue salah mengenali gula sebagai garam. Gue tahu itu memang kesalahan yang fatal dan nggak banget, tapi itu seharusnya dimaklumi karena itu adalah kali pertama gue terjun ke dapur.

Saat keluarga kami masih utuh, gue diperlakukan bak putri raja. Gue selalu terbangun dengan air hangat yang sudah siap dan sarapan yang tersaji di ruang makan. Gue nggak pernah memikirkan soal baju kotor yang harus dicuci atau piring yang harus bersih. Mami dan Papi bahu-membahu dalam hal kebersihan rumah tanpa pernah mengajak gue buat ikut serta.

Tapi di hari itu, semuanya berubah. Nggak ada lagi Papi yang selalu membangunkan gue setiap pagi, nggak ada lagi Mami yang selalu menjamin makanan mengepul di meja makan. Memang ada ART yang menggantikan tugas mereka, tapi nggak ada siapa pun yang bisa menggantikan posisi mereka di hati gue.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang