14. Seberapa Berharga?

138 11 0
                                    

Soal apaan sih ini?!

Gue menghembuskan napas lelah begitu melihat latihan ujian Matematika yang dibagikan tadi siang. Jujur aja, gue lebih suka Fisika dari pada Matematika, padahal keduanya sama-sama hitungan. Tapi menurut gue Matematika jauh lebih ribet, dan menuntut ketekunan dan ketelitian yang nggak bisa mendeskripsikan diri gue.

Gue tipe orang yang frustrasi kalau sudah mengerjakan soal dan ternyata hasilnya nggak ada di pilihan ganda. Kalau Rendi ada di posisi itu, dia pasti akan mengacak rambutnya sendiri dan mulai mengerjakannya lagi dari awal, sedangkan gue lebih suka memilih jawabannya secara asal.

Gue ini penganut asas "hasil nggak akan mengkhianati usaha", jadi gue yakin nilai gue nggak akan jeblok-jeblok amat karena seenggaknya gue sudah berusaha, meski usaha gue nggak membuahkan hasil.

Sayangnya asas itu nggak berlaku di beberapa situasi. Contohnya, soal Rendi. Gue sudah mengusahakan semua yang gue bisa, mulai dari setia ada di sampingnya saat dia terpuruk, nggak pacaran selama satu tahun--gue suka dia dari tiga tahun yang lalu, tapi gila banget kalau gue jomlo selama itu cuma buat dia--dan mendengarkan semua keluh-kesahnya tentang dunia, meski gue belum berani menyatakan perasaan gue.

Contoh lainnya: Papi. Lo nggak bisa bayangkan seberapa keras usaha gue membuat Papi mempertimbangkan gagasan tentang rujuk. Gue sampai berubah dari anak-manis-kesayangan-Papi menjadi gadis yang bersikap murahan, hanya agar Papi menyadari kalau gue bisa tumbuh jadi berandalan tanpa dia.

Tapi Papi nggak mengatakan apapun. Ketika dia menjemput gue buat akhir pekan pertama setelah perceraian dan gue memakai rok minim dengan seragam ketat, Papi nggak memberikan komentar. Dia tetap bersikap kayak biasanya, membicarakan banyak hal kecuali penampilan baru gue atau pun Mami.

Ketika gue mengecat rambut menjadi kecokelatan, Papi juga nggak terlihat mempermasalahkannya. Padahal dia tahu sekolah gue nggak mengizinkan siswanya mewarnai rambut.

Gue nggak pernah berhenti mencoba menarik perhatian Papi. Gue selalu pengin menunjukkan kalau Mami nggak bisa merawat gue dengan baik, agar Papi tahu bahwa gue membutuhkan orangtua lengkap buat menjadi anak yang mereka mimpikan.

Dan gue menyerah sekarang.

"Rena?"

Gue berbalik, mendapati Mami yang sedang berdiri di ambang pintu dengan sikap hati-hati. Dia terlihat segan buat masuk ke kamar gue, dan gue paham karena keluarga kami benar-benar menjunjung tinggi privasi. Ruangan pribadi itu pantang dimasuki tanpa izin, kecuali untuk hal-hal darurat seperti gue yang mogok keluar kemarin.

Gue tersenyum. Mami sudah mengenakan setelan yang rapi, modis, dan tentunya cantik. Selera fashion gue nggak akan bisa menyaingi dia. Mami sempat berharap gue berkarier di bidang yang sama dengan dia, tapi sejak gue lebih menunjukkan minat di bidang astronomi, dia nggak memaksa. Dia memberikan dukungan penuh, dan Papi juga seperti itu.

Ah, Papi.

"Masuk, Mi," kata gue, sebagai salah satu cara mengalihkan pikiran dari kenangan tentang Papi.

Mami melangkah dengan perlahan. Ada kernyitan samar di dahinya, pertanda dia sedang berpikir. Raut wajahnya terlihat lebih santai dan ringan, membuat gue bertanya-tanya apa dia sedang bersandiwara atau dia memang sudah nggak sakit hati karena pernikahan Papi.

"Mami mau terbang ke Sydney, untuk menyelesaikan acara di sana," Mami berbicara setelah dia duduk di pinggir ranjang, berhadapan dengan gue yang masih duduk di kursi belajar. "Kamu ... nggak apa-apa, 'kan?"

Gue mengedikkan bahu tak acuh, tahu bahwa ini memang kewajiban Mami dan salah gue karena membuat dia pulang sebelum menyelesaikan tugasnya. "Nggak masalah."

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang