33. Angga di Rumah Sakit

68 7 0
                                    

Dikatakan awan hitam

Sebelum datangnya hujan

Biarlah aku dikutuk, dan engkau yang dirayakan.

Kunto Aji – Saudade

****

Salah satu kegiatan favorit Renata adalah memanggang di akhir pekan.

Biasanya, di saat-saat menyenangkan itu, Papi akan menyanyi sambil menguasai panggangan dan Renata menari mengikuti irama lagunya sementara Mami akan tertawa-tawa dan mengolesi potongan daging dengan mentega. Itu barangkali adalah satu-satunya alasan Renata tidak pernah ikut menghabiskan akhir pekan dengan Rendi dan teman-temannya yang lain.

Dan itu terasa sudah lama sekali.

Nyatanya, di sinilah Renata sekarang, duduk di kursi tunggu rumah sakit yang tidak membantu menenangkan tangannya yang gemetar ataupun rasa ngeri yang menjalar di punggungnya. Dia tidak menangis, dia tidak bicara, tapi pikiran-pikiran buruk terasa hampir membunuhnya dari dalam.

"Na," Rendi bergerak untuk menggenggam tangan Renata dan gadis itu tidak menolak sama sekali. Rendi bahkan curiga jika Renata tidak menyadari kehadirannya saat ini. "Na, liat gue."

Renata menggerakkan lehernya hingga wajahnya menghadap Rendi, tapi matanya terlalu kosong dan tidak ada emosi apapun di sana. Rendi bahkan tidak bisa melihat dirinya sendiri, dan dia benci melihat keadaan Renata seperti ini. Renata terlihat persis seperti ketika gadis itu baru sadar di rumah sakit dari percobaan bunuh dirinya, dan saat-saat itu menyakiti Rendi lebih dari apapun.

Dia tidak ingin melihat Renata terluka. Tidak lagi.

"Renata, lo harus liat gue," ulang Rendi dengan sabar, tangannya menggenggam tangan Renata dengan erat di pangkuan gadis itu, dan dia mencengkeramnya lebih erat ketika Renata mengerjapkan mata hingga bisa fokus ke sekelilingnya lagi setelah tersesat dalam dunianya sendiri.

Renata mengedip sekali lagi, seakan ingin memastikan sesuatu. "Rendi."

"Iya, gue," sahut Rendi. Dia terdiam sebentar, lalu merengkuh Renata dalam pelukannya karena dia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Apa dia harus bilang kalau semuanya bakal baik-baik aja, walau mereka berdua tahu kalau itu terdengar sangat naïf dan sok tahu.

Dan bahkan, di dalam pelukannya pun tubuh Renata terasa kaku, seakan seseorang menempelkan papan kayu di punggungnya hingga dia tidak bisa rileks sedikit saja.

"Na, gue mau liat lo nangis," kata Rendi tiba-tiba. Itu mungkin terdengar kurang ajar, tapi akan lebih baik untuk Renata jika dia meluapkan emosi dan membaginya dibandingkan membiarkan emosi itu menggumpal di dalam dadanya.

Dan begitu saja, air mata Renata luruh ke pipinya.

Renata menangis sekeras yang ia bisa, menangkupkan tangan ke wajahnya, terisak dan tersedak. Ini menghancurkan Rendi, mengetahui bahwa Renata hancur dan tidak ada yang bisa dia lakukan untuk gadis itu.

Rendi ingin menjadi penyelamat Renata.

Rendi ingin membuat Renata baik-baik saja.

Tapi satu-satunya hal yang bisa dia lakukan hanya duduk di sini, melihat Renata hancur berkeping-keping dan merasakan tubuh gadis itu gemetar di pelukannya karena tangis. Rendi benci mengetahui bahwa dia tidak bisa memberikan kalimat penghiburan untuk setidaknya meyakinkan Renata bahwa semuanya baik-baik saja.

Karena, sebenarnya, dia juga tidak yakin apakah semuanya akan baik-baik saja.

Angga dan Angela memilih saat yang tidak tepat itu untuk datang, sementara ibu Angela sedang duduk di ujung lorong, tepat di depan UGD dimana Papi Renata sedang ditangani. Angela langsung berlari menyongsong ibunya, sedangkan Angga berhenti sebentar ketika mendekati Renata yang sedang menangis di pelukan Rendi.

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang