22. Ditolak

137 12 2
                                    


Semua orang selalu menganalogikan pelangi sebagai sesuatu yang indah; kebahagiaan setelah badai; kesuksesan setelah gagal; cinta setelah luka. Dan Renata selalu menganggap Rendi sebagai pelangi pribadinya, yang terdengar ironis karena cowok itu adalah orang yang berhasil menyentuh bagian terdalam dari hatinya dan bukannya tinggal, dia malah menggoreskan luka di sana, yang terasa sulit disembuhkan karena Renata sendiri tidak bisa menggapai bagian hatinya yang itu.

Rendi itu terlalu penuh warna; iridescent. Tapi warna-warni itu membuat Renata buta. Dia tidak lagi dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, kapan waktunya pergi dan kapan waktunya bertahan. Tapi sekarang, setelah luka menghantamnya kuat-kuat, dia tahu tetap berdiri di tempat yang sama itu adalah kebodohan yang tak termaafkan.

Berbicara tentang bodoh, dia jadi teringat hinaan Angga padanya tempo lalu, dan mungkin cowok itu memang benar. Dia memang bodoh, dungu, dan bebal. Tapi setidaknya, dia tidak sebodoh gadis sok baik yang berdiri di hadapannya sekarang hanya untuk mengatakan hal yang lebih bodoh lagi.

"Kak, Sabtu nanti ada pesta barbekyu di rumah, Papa mau Kakak ada di sana," kata Angela, keringat menetes dari pelipisnya setelah Renata menyeretnya ke bagian tempat parkir yang lebih sepi, di bawah pohon besar tempat Rendi dan gengnya biasa nongkrong sebelum bel masuk berbunyi.

Renata tersenyum selama sedetik sebelum raut wajahnya menjadi datar dan super ketus. Dia bisa melihat Angela mengerjap dengan gaya bonekanya, tapi dia memutuskan untuk tidak tersentuh. "Nggak, dan gue bukan kakak lo."

"Tapi Kak—"

"Panggil gue Renata," tukas Renata cepat, mengabaikan hatinya yang berdenyut begitu melihat kesedihan di wajah Angela. Astaga, cewek itu pandai sekali mengambil hati orang. Dia bisa memasang wajah polos yang membuat orang-orang iba dan jatuh hati. Memangnya berapa sih umurnya? Melihat dari seragam yang dikenakannya, cewek itu pasti sudah SMA, tapi Renata tidak melihat sedikit pun garis kedewasaan dalam dirinya.

Jika Renata memakai rok pendek yang akan membuat Dewan Disiplin Sekolah terkena serangan jantung seandainya mereka melihatnya, rok Angela jatuh beberapa senti di bawah lutut, disambung oleh kaus kaki putih panjang yang menutupi kakinya dengan sempurna. Sementara Renata selalu memastikan jika riasan wajahnya sempurna, wajah Angela sangat polos sampai Renata bisa melihat bintik-bintik di hidungnya dan bibirnya yang pucat. Jujur saja, Renata tidak mengerti bagaimana bisa ada gadis yang percaya diri tampil tanpa riasan seperti itu.

Angela memiringkan kepalanya sedikit, seperti menimbang-nimbang. "Renata?"

Renata mengerang. Dia tidak mau Angela memanggilnya Kakak seakan mereka memang saudara yang akrab, tapi dia juga tidak suka mendengar namanya keluar dari bibir gadis itu. Astaga, dia bahkan tidak mau membayangkan suatu saat mereka harus sering-sering terlibat dengan satu sama lain.

Tapi panggilan Kakak itu terdengar lebih mengerikan, jadi dia tidak punya pilihan lain.

Renata melipat tangannya di bawah dada, berusaha terlihat seangkuh mungkin, dan dia didukung oleh tubuhnya yang lebih tinggi dari Angela. Puncak kepala Angela hanya mencapai telinganya, jadi dia diunggulkan dalam intimidasi ini. "Ada lagi?" tanyanya tak acuh, lalu melirik jam tangannya dengan gestur merendahkan yang akan membuat siapa pun naik pitam. "Gue nggak punya banyak waktu buat basa-basi."

"R-Renata," suara Angela terdengar tidak yakin. "Mama mau mengenal kamu lebih jauh. Dan aku pikir, kita juga bisa jadi saudara. Aku nggak pernah punya kakak."

Renata menjentikkan jarinya. "Nah, kalo lo pikir gue bakal peduli, lo salah. Gue nggak punya hubungan sama Papi gue lagi, apalagi sama lo dan nyokap lo. Jadi semua usaha lo ini sia-sia. Lo tahu gerbangnya, kan?"

IridescentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang