"Oi, Sakura, kayaknya kau sibuk sekali?" Sapa Ino saat melihat Sakura baru saja keluar dari sebuah toko yang menjual pakaian formal seperti gaun, kimono, jas, kemeja, dll.
Merasa namanya dipanggil seseorang, Sakura berbalik melihat siapa yang memanggilnya. "Ino?"
"Kau kesini sendirian? Kakashi-sensei mana?" Tanya Ino menghampiri Sakura.
"Dia pergi duluan untuk bertemu Tsunade-sama dan para Daimyo untuk membicarakan soal pergantian jabatan Hokage," ujar Sakura.
Ino hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawabannya pada Sakura. Ada banyak pertanyaan yang ingin dilontarkan mulut cerewetnya kalau saja ia tak bisa menahannya. Ia tau kalau sahabatnya itu sedang sibuk mengurus pernikahannya bersama Kakashi minggu depan, dan ia tak mau menambah beban stres Sakura untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tidak pentingnya.
"Nah, kau dari mana?" Giliran Sakura yang bertanya pada Ino. Tidak biasanya Ino berkeliaran di tengah keramaian pasar Konoha saat siang hari. Dia harusnya di rumah sakit.
Ino tersenyum malu. Terlihat rona merah di wajah gadis pirang itu. Ada apa? Kenapa dia jadi salah tingkah? Sakura semakin penasaran.
"Sebenarnya.." Ino menggantung ucapannya, ia ingin melihat ekspresi penasaran Sakura yang terlihat lucu lebih lama.
Sakura memutar bola matanya kesal. Ia merasa dipermainkan oleh Ino.
"Baiklah, baiklah, aku tadi keluar makan siang bersama Sai-kun," jawab Ino dengan santai, tapi rona merah di wajahnya tak hilang. Apalagi saat mengingat Sai menyusulnya ke rumah sakit dan mengajaknya makan siang bersama. Betapa beruntungnya dirinya, diajak makan oleh pria yang disukainya.
Sakura tersenyum jahil ke arah sahabat pirangnya yang sudah mulai terang-terangan berkencan dengan Sai.
"Jadi sekarang kau berkencan dengannya?" Sakura mengedipkan matanya pada Ino. Ino semakin salah tingkah karena tatapan Sakura.
"Kau pikir hanya kau yang bisa menikah? Aku tidak ingin kalah, tau!" Seru Ino dengan semangat. Keinginan ayahnya agar ia cepat menikah membuatnya tak gentar mendekati Sai. Ia sangat berharap lebih pada pria berkulit pucat itu setelah ia menyerah untuk mendapatkan Sasuke.
"Kalau begitu cepatlah menyusul! Aku tidak ingin membuatmu iri saat melihatku dan Kakashi bermesraan," ucap Sakura sarkas.
Ino menekuk wajahnya, terlalu menyakitkan mendengar Sakura berkata seperti itu padanya. Apalagi Sai belum menunjukkan ketertarikan padanya, pria itu hanya menggombalnya dan tidak pernah menyatakan cintanya padanya.
"Hei, hei, jangan seperti itu, kau makin jelek tau! Aku akan membantumu agar Sai cepat melamarmu," Sakura merangkul Ino seraya tersenyum pada gadis pirang itu.
"Ck, kenapa malah membahas tentang hubunganku, sih? Yang lebih penting adalah pernikahanmu, apa kau sudah mengatur undangan pernikahanmu?" Tanya Ino.
Sakura dan Ino berjalan mencari bangku agar dapat leluasa bercerita tanpa harus merasakan lelah pada kaki mereka yang berdiri terus menerus. Ino menarik Sakura ke bangku di pinggir jalan tersebut. Sakura merasa deja vu pada tempat itu. Ia sangat mengingat saat Sasuke membuatnya pingsan setelah mengucapka terima kasih dan pergi dari desa. Sakura tersenyum simpul mengingatnya. Sekarang ia sudah tak memiliki perasaan apapun pada Sasuke yang terlalu menutup rapat hatinya untuk Sakura. Yang ada di hatinya saat ini dan untuk selamanya adalah Kakashi, calon suaminya.
"Tsunade-sama yang mengurus undangan pernikahan kami," jawab Sakura.
Ino mengernyit tak mengerti, "kenapa Tsunade-sama yang mengurusnya?" Tanyanya lagi untuk menghilangkan rasa penasaran di benaknya.
Sakura menggeleng pelan, ia juga tak tau alasan kenapa Tsunade sangat memaksanya agar dialah yang mengurus surat pernikahannya dengan Kakashi.
"Jangan-jangan dia ingin mengundang para petinggi dan Kage ke pernikahan kalian?" Ino menebak-nebak kemungkinan yang terlintas di pikirannya.
"Atau dia tidak akan mengundang orang-orang?" Lanjut Ino.
"Kau gila? Buat apa Tsunade-sama melakukan itu, itu terlalu kejam," Sakura mendengus kesal mendengar Ino yang tertawa seperti mengejeknya.
"Haha.. aku bercanda, jidat!"
Sakura hanya memalingkan wajahnya kesal melihat ekspresi bahagia Ino disaat ia sedang jengkel pada gadis pirang itu.
"Kau suka tertawa pada hal yang tidak lucu, kau sedang sedih?" Tanya Sakura saat menyadari sikap tak biasa sahabatnya itu.
Ino berhenti tertawa dalam sekejap. Sakura menyadari kesedihannya? Apa ini kekuatan dari persahabat mereka? Hahaha, lucu.
"Masih mengkhawatirkan hubunganmu dengan Sai?" Tanya Sakura lagi. Ia tau Ino masih memikirkan masa depan hubungannya bersama Sai.
"Tenang saja, kau tidak akan menjadi perawan tua," lanjut Sakura sarkas.
"Cih, aku tidak seputus asa itu," gerutu Ino jengkel.
"Memangnya kau sudah bicarakan tentang hubungan kalian pada Sai?"
Ino menggeleng, "aku agak ragu menanyakannya."
Sakura menghela napas pelan, "kau tau? Sai tidak akan menyakiti perasaan perempuan apalagi kalau perempuan itu kau, aku bisa sedikit mengerti bagaimana sifat Sai akhir-akhir ini," ucap Sakura saat mengingat Sai selalu ada saat dia sedang butuh seseorang di sampingnya untuk berbicara dan selalu ada saat ia memiliki masalah dengan Kakashi.
"Bagaimana kau tau?"
"Kupikir kau sangat peka, tapi ternyata tidak,"
Ino semakin bingung dibuatnya, ia masih tak mengerti maksud Sakura. Sakura menyerah dan akhirnya mulai berbicara.
"Jadi, buat apa Sai sampai menyusulmu ke rumah sakit hanya karena ingin mengajakmu makan siang bersama? Kau tau kan Sai adalah orang yang tidak ingin mencampuri urusan orang lain? Dan tak ingin melakulan hal-hal yang tidak penting menurutnya. Aku bahkam harus memaksanya jika ingin mengajaknya pergi menemaniku kalau kau sedang sibuk," jelas Sakura panjang lebar. Mulutnya terasa kering setelah berbicara banyak demi membuat sahabatnya sadar dengan sikap Sai kepadanya.
Ino mencerna setiap kata yang Sakura katakan padanya. Benar yang dikatakan Sakura, buat apa Sai ke rumah sakit demi mengajaknya makan siang? Senyum Ino merekah. Setidaknya ia memiliki sedikit harapan pada Sai.
.
.
.T B C
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENDIPITY
Fanfiction[PRIVATE ACAK] Apa salahnya kalau mantan sensei dan mantan murid terlibat dalam suatu hubungan? Mereka rasa tidak ada yang salah. Kalaupun ada yang harus disalahkan, itu adalah takdir. Mereka bahkan tidak tahu bahwa takdir lah yang secara kebetula...