―15;

395 75 19
                                    

―Minggu kesepuluh
Didi

―Minggu kesepuluhDidi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Tumben bawa mobil?"

Aku melempar senyum ke Prisca yang tiba-tiba menghampiri ke mobil ku. Aku mengambil gulungan-gulungan kertas yang tergeletak asal di kursi belakang lalu memeluknya. "Iya, nih. Kayaknya beberapa hari ini bakal bawa mobil terus."

"Ilham nggak jemput kayak biasa?"

Aku menggeleng sambil tersenyum kecut. "Dia lagi nggak bisa jemput, Pris."

"Kalian lagi berantem?"

Aku menggeleng lagi. Ku putuskan untuk tidak menjawab apa pun pertanyaan dari Prisca setelahnya walaupun itu berarti aku harus menahan kuping karena Prisca pasti menghujani ku dengan pertanyaan-pertanyaan yang lain.

Tapi bukan Prisca namanya kalau sampai titik darah penghabisan pun akan dia perjuangkan untuk mengorek informasi.

"Mamanya masuk rumah sakit, Pris." Akhirnya aku bercerita ketika kami berdua sampai di studio, menaruh barang masing-masing.

Mulut Prisca membulat kemudian ia mengangguk-angguk. "Sakit apaan emang, De? Parah ya?"

"Jantung koroner. Udah empat hari mamanya Ilham belum siuman, Pris." Aku kemudian menyandarkan punggung ku ke sandaran kursi. "Separah itu."

Ada yang menyentil ku saat mulut ini bercerita tentang kondisi mamanya Ilham ke siapapun yang bertanya. Prisca, ayah –ya walaupun aku tidak terlalu menceritakan semuanya ke ayah, belum lagi nama Ilham tidak pernah tersebut– teman-teman Ilham, dan bahkan keluarga pasien lain teman menunggu ku di rumah sakit. Ada terselip rasa bersalah, takut, sampai terkadang aku harus berlari ke kamar mandi hanya untuk tidak menangis di depan Ilham.

Sekarang, setiap mata ku melihat potret mama Ilham yang terbaring dengan berbagai alat medis yang tertancap di tubuh beliau, akan ada potret ibu yang sepuluh tahun lalu berkondisi sama di kepala ku. Akan ada bunyi stagnan alat detektor jantung yang menyusup di telinga ku. Akan terasa dinginnya lantai rumah sakit tempat aku terduduk sambil menangisi jasad ibu yang tiba-tiba merasuk di kulit ku. Akan ada sakit lagi yang terasa di dada, menggebu-gebu.

Potret sepuluh tahun lalu yang kini muncul lagi di ingatan yang mengganggu ku.

Dan tentu saja aku tidak akan pernah mengatakan hal ini ke Ilham. He needs me now dan aku tidak bisa menjadi seorang yang mengaku bahwa aku mempunyai trauma yang cukup parah terhadap rumah sakit sementara dia meminta ku untuk menemaninya seharian di rumah sakit.

Mau jadi tidak seberguna apa lagi kamu, Di?

"Lo keliatan kayak orang sakit deh, De. Lo nggak apa-apa?" Suara Prisca tiba-tiba membuyarkan lamunan ku.

Aku berdeham. "Pusing aja dikit, kurang tidur kali ya?" Elak ku sebisanya. Entah Prisca bisa percaya atau tidak.

"Udah makan?"

Catching FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang